Halaman

Pages

Laman

Jumat, 04 September 2015

BILINGUALISME DALAM PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA PADA MASYARAKAT MODERN



BILINGUALISME DALAM PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA PADA MASYARAKAT MODERN

Bahasa memang suatu alat komunikasi yang sangat penting bagi semua orang diseluruh Negara. Bagi bangsa Indonesia bahasa Indonesia tidak hanya merupakan alat komunikasi untuk berkomunikasi antara satu orang dengan orang lain, namun juga sebagai alat pemersatu bangsa. Bilingualism di Indonesia tidak hanya terjadi antara bahasa Indonesia dengan bahasa asing, namun juga antara bahasa Indonesia dengan bahasa daerah yang terdapat disuatu wilayah. Semakin populernya bahasa asing terutama bahasa Inggris dirasa semakin memudarkan kecintaan masyarakat Indonesia terhadap bahasa Indonesia. Sebagian masyarakat lebih memilih menggunakan \bahasa Asing daripada bahasa Indonesia dikarenakan mereka lebih merasa prestige, lebih keren dan lebih waaw.
Kata kunci: Bahasa, Bahasa Indonesia, Bahasa Asing, Bilingual.

Pendahuluan
Bahasa adalah sebuah sistem, artinya bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap, dan dapat dikaidahkan. Ciri dari hakikat bahasa adalah, bahwa bahasa itu adalah sistem lambang, berupa bunyi, bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi. Dengan sistematis maksudnya, bahasa itu tersusun menurut suatu pola tertentu, tidak tersusun secara acak atau sembarangan.
Sistem bahasa yang digunakan berupa lambang-lambang dalam bentuk bunyi. Setiap lambang bahasa menggunakan lambang bahasa yang berbunyi [kuda], melambangkan konsep atau makna. Dalam bahasa Indonesia satuan bunyi [air], [kuda], dan [meja] adalah lambang ujaran karena memiliki makna, tetapi bunyi-bumyi [rai], [akud], [ajem] bukanlah lambang ujaran karena tidak memiliki makna. Lambang bahasa itu bersifat arbiter, artinya hubungan antara lambang dengan yang dilambangkannya, tidak bersifat wajib, bisa berubah, dan tidak dapat dijelaskan mengapa lambang itu mengonsepi makna tertentu.
Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualisme) dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud bilingualisme itu, yakni berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa.
Bilingualisme terjadi karena adanya kontak bahasa antara dua kelompok bahasa yang berbeda, ada dalam setiap negara di dunia, dalam semua kelas masyarakat, dan dalam semua kelompok usia. Oleh karena itu, sulit sekarang ini menemukan masyarakat yang benar-benar monolingual karena tidak ada kelompok bahasa yang terpisah dari kelompok bahasa yang lain (Grosjean, 1982: 1). Pengertian bilingualisme antara satu ahli dengan yang lain masih memiliki kekurangan di sana-sini. Oleh karenanya menurut Grosjean tidak ada definisi bilingualisme yang dapat diterima secara umum.
Mackey (1962: 12) mengatakan dengan tegas bahwa bilingualisme adalah praktik penggunaan bahasa dengan bergantian, dari bahasa satu ke bahasa lain oleh seorang penutur, menurutnya, penguasaan kedua bahasa tersebut harus sama tingkatnya. Pernyataannya hampir mirip dengan yang dikatakan oleh Weinreich (1986: 1) bahwa praktik pemakaian dua bahasa berganti-ganti disebut dengan bilingualisme, sedangkan orang-orang yang memakainya disebut dengan bilingual.
Dari pernyataan tersebut dapat ditangkap bahwa tidak mudah mendefinisikan konsep bilingualisme. Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa masih ada kekurangan di sana-sini. Bilingualisme pada intinya harus dapat menjelaskan keberadaan sekurang-kurangnya dua bahasa dalam penutur yang sama, dengan mengingat bahwa kemampuan dalam bahasa ini dapat sama atau tidak, dan bahwa cara bahasa ini dipakai memainkan peranan penting.

Pembahasan

Bahasa menunjukkan kepribadian bangsa, dan sebagai anak bangsa yang bangga terhadap bangsanya Jati diri atau yang lazim juga disebut identitasmerupakan ciri khas yang menandai seseorang, sekelompok orang, atau suatu bangsa. Jika ciri khas itu menjadi milik bersama suatu bangsa, hal itu tentu menjadi penanda jati diri bangsa tersebut. Seperti halnya bangsa lain, bangsa Indonesia juga memiliki jati diri yang membedakannya dari bangsa yang lain di dunia. Jati diri itu sekaligus juga menunjukkan keberadaan bangsa Indonesia di antara bangsa lain. Salah satu simbol jati diri bangsa Indonesia itu adalah bahasa, dalam hal ini tentu bahasa Indonesia. Hal itu sejalan dengan semboyan yang selama ini kita kenal, yaitu “bahasa menunjukkan bangsa”.
Namun, bagaimana kondisi kebahasaan kita sebagai jati diri bangsa saat ini? Kalau kita lihat secara cermat, kondisi kebahasaan di Indonesia saat ini cukup memprihatinkan, terutama penggunaan bahasa Indonesia di tempat umum, seperti pada nama bangunan, pusat perbelanjaan, hotel dan restoran, serta kompleks perumahan, sudah mulai tergeser oleh bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Tempat yang seharusnya menggunakan bahasa Indonesia itu mulai banyak yang menggunakan bahasa yang tidak lagi menunjukkan jati diri keindonesiaan. Akibatnya, wajah Indonesia menjadi tampak asing di mata masyarakatnya sendiri. Kondisi seperti itu harus kita sikapi dengan bijak agar kita tidak menjadi asing di negeri sendiri. Nilai rasa bahasa Indonesia yang berkurang akibat adanya pencampuran bahasa seorang penutur yang tidak tepat kapan menggunakan Bahasa pertama (Bahasa Indonesia/B1) dan Bahasa keduanya (Bahasa Asing/B2).
Bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa disebut orang yang bilingual (dwibahasawan), sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas (kedwibahasawanan). Masalah-masalahnya yaitu:
Sejauh mana taraf kemampuan seseorang akan B2 sehingga dia dapat disebut sebagai seorang yang bilingual?
Kapan seorang bilingual menggunakan kedua bahasa itu secara bergantian? Kapan pula di dapat secara bebas untuk dapat menggunakan B1-nya atau B-2 nya?
Apakah bilingualisme berlaku pada satu kelompok masyarakat tutur?
Pertanyaan pertama, seseorang harus dapat menguasai B1 dan B2 dengan derajat yang sama baiknya, barulah dikatakan bilingual, bukan setengah-setengah yang justru menurunkan nilai rasa bahasa Indonesia dibandingkan bahasa asing. Sebagai contoh kasus, kita dapat melihat sikap sebagian masyarakat yang tampaknya merasa lebih hebat, lebih bergengsi, jika dapat menyelipkan beberapa kata asing dalam berbahasa Indonesia, padahal kosakata asing yang digunakannya itu ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Misalnya, sebagian masyarakat lebih suka menggunakan kata di-follow up-i, di-pending, meeting, dan on the way. Padahal, kita memiliki kata  ditindaklanjuti untuk di-follow up-i, kata ditunda untuk di-pending, pertemuan atau rapat untuk meeting, dan sedang di jalan untuk on the way.
Pertanyaan mengenai kapan kapan seorang penutur bilingual menggunakan satu bahasa tertentu, B1 nya atau B2 nya, atau satu ragam bahasa tertentu adalah menyangkut masalah fungsi bahasa atau fungsi ragam bahasa tertentu di dalam masyarakat tuturnya sehubungan dengan adanya ranah-ranah penggunaan bahasa atau ragam bahasa tersebut. Kapan hatus digunakan B1 dan kapan pula harus digunakan B2 tergantung pada lawan bicara, topik pembicaraan, dan situasi sosisal pembicaraan. Jadi penggunaan B1 dan B2 ini tidaklah bebas. Tidak seharusnya kita membiarkan bahasa Indonesia larut dalam arus komunikasi global yang menggunakan media bahasa asing seperti itu. Jika hal seperti itu kita biarkan, tidak tertutup kemungkinan jati diri keindonesiaan kita sebagai suatu bangsa pun akan pudar, bahkan tidak tertutup kemungkinan terancam larut dalam arus budaya global. Jika hal itu terjadi, jangankan berperan di tengah kehidupan global, menunjukkan jati diri keindonesiaan kita sebagai suatu bangsa pun kita tidak mampu. Kondisi seperti itu tentu tidak akan kita biarkan terjadi. Oleh karena itu, diperlukan berbagai upaya agar jati diri bangsa kita tetap hidup di antara bangsa lain di dunia. Dalam konteks kehidupan global seperti itu, bahasa Indonesia sesungguhnya selain merupakan jati diri bangsa, sekaligus juga merupakan simbol kedaulatan bangsa.
Pertanyaan ketiga mengenai bilingualisme berlaku pada satu kelompok masyarakat tutur menyangkut hakikat bahasa dalam kaitannya dengan penggunaannya di dalam masyarakat tutur bilingual. Bilingualisme bukan gejala bahasa, meliankan sifat penggunaan bahasa yang dilakukan penutur bilingual secara berganti-ganti. Mackey juga mengatakn kalau bahasa itu milik kelompok atau milik bersama suatu masyarakat tutur, maka bilingualisme adalah milik individu-individu para penutur, sebab penggunaan bahasa secara bergantian oleh seorang penutur bilingual mengharuskan adanya dua masyarakat tutur berbeda, misalnya masyarakat tutur B1 dan masyarakat tutur B2. Artinya setiap bahasa di dalam masyarakat bilingual itu tidak dapat secara bebas digunakan, melainkan harus diperhatikan fungsinya masing-masing. Jika sebagai suatu bangsa, salah satu simbol jati diri kita adalah bahasa dan sastra Indonesia; sebagai anggota suatu komunitas etnis di Indonesia, simbol jati diri kita adalah bahasa dan sastra daerah. Oleh karena itu, sebagai suatu simbol jati diri kedaerahan, bahasa dan sastra daerah juga harus kita jaga dan kita pelihara untuk menunjukkan jati diri dan kebanggaan kita sebagai anggota masyarakat daerah.
Sebagai simbol jati diri bangsa, bahasa Indonesia harus terus dikembangkan agar tetap dapat memenuhi fungsinya sebagai sarana komunikasi yang modern dalam berbagai bidang kehidupan. Di samping itu, mutu penggunaannya pun harus terus ditingkatkan agar bahasa Indonesia dapat menjadi sarana komunikasi yang efektif dan efisien untuk berbagai keperluan. Upaya ke arah itu kini telah memperoleh landasan hukum yang kuat, yakni dengan telah disahkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Undang-undang tersebut merupakan amanat dari Pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan sekaligus merupakan realisasi dari tekad para pemuda Indonesia sebagaimana diikrarkan dalam Sumpah Pemuda, tanggal 28 Oktober 1928, yakni menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia. Setiap bahasa pada dasarnya merupakan simbol jati diri penuturnya, begitu pula halnya dengan bahasa Indonesia juga merupakan simbol jati diri bangsa. Oleh karena itu, bahasa Indonesia harus senantiasa kita jaga, kita lestarikan, dan secara terus-menerus harus kita bina dan kita kembangkan agar tetap dapat memenuhi fungsinya sebagai sarana komunikasi modern yang mampu membedakan bangsa kita dari bangsa-bangsa lain di dunia. Lebih-lebih dalam era global seperti sekarang ini, jati diri suatu bangsa menjadi suatu hal yang amat penting untuk dipertahankan agar bangsa kita tetap dapat menunjukkan keberadaannya di antara bangsa lain di dunia. Untuk memperkuat jati diri itu, baik yang lokal maupun nasional, diperlukan peran serta berbagai pihak dan dukungan aturan serta sumber daya yang memadai. Peran serta masyarakat juga sangat diperlukan dalam memperkuat jati diri bangsa itu. Dengan jati diri yang kuat, bangsa kita akan makin bermartabat sehingga mampu berperan, bahkan juga bersaing dalam kancah kehidupan global.
Dilain pihak munculnya fenomena RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) dan juga SBI (Sekolah Bertaraf Internasional) yang keduanya menggunakan metode pembelajaran bilingual sehingga lebih dikenal dengan sekolah bilingual. Sekolah bilingual merupakan sekolah yang saat ini cukup digemari oleh masyarakat Indonesia. Para orang tua berlomba-lomba memasukkan anak mereka di sekolah bilingual dengan alasan bahwa sekolah bilingual lebih bermutu atau hanya sekadar alasan prestige. Begitu pula anak-anak mereka, rajin mengikuti bimbingan belajar untuk dapat diterima di sekolah bilingual, yang bisa dibilang sebagai sekolah unggulan.
Mengapa bahasa Inggris begitu gencar digalakkan di Indonesia? Hal ini tentu saja karena tantangan pengaruh globalisasi. Bahasa Inggris sudah menjadi bahasa internasional, jika kita tidak menguasainya kita akan kesulitan bersosialisasi dengan masyarakat dunia atau internasional.
Sebagai contoh, siswa yang mengikuti lomba tingkat internasional tidak bisa banyak berkata menjawab soal. Bukan karena mereka tak kompeten dalam bidangnya, namun karena penguasaan bahasa Inggris yang minim. Tentu saja kondisi ini amat disayangkan.
Kondisi seperti ini tentunya jangan sampai terjadi lagi. Seperti halnya bahasa Indonesia yang mempersatukan ratusan etnis di kepulauan nusantara, begitu pula bahasa Inggris yang mempersatukan ratusan negara di dunia. Dunia sudah masuk ke lingkungan pergaulan global. Jadi tidak ada salahnya bangsa Indonesia menggalakkan pemakaian bahasa Inggris, karena menutup diri berarti menghalangi kemajuan bangsa kita sendiri.
Lalu bila kita belajar dan menggalakkan pemakaian bahasa Inggris, apakah kita jadi tidak mencintai bahasa Indonesia?
Berkenaan dengan hal itu, yang terpenting adalah bahwa bila kita ingin melestarikan bahasa Indonesia kita harus ‘memampukan’ pengguna bahasanya. Jangan sampai upaya untuk melestarikan bahasa Indonesia justru ‘mengerdilkan’ pengguna bahasa itu sendiri. Bahasa tidak akan berkembang tanpa dukungan dari pengguna bahasa itu, dan sebaliknya pengguna bahasa itu juga takkan dapat berbuat banyak bila mereka ada dalam keadaan terpinggirkan.
Mackey (dalam Chaedar dan Agustina 2004:84) mengelompokkan empat aspek untuk mempermudah pembicaraan mengenai bilingual, yaitu sebagai berikut :
Tingkat kemampuan
Kemampuan berbahasa akan nampak pada empat keterampilan, yaitu menyimak, membaca, berbicara, dan menulis. Keempat keterampilan ini mencakup level fonologi, gramatik, leksis, semantic,dan stylistic.
Fungsi
Tingkat kefasihan berbahasa tergantung pada fungsi atau pemakaian bahasa itu. Dapat dikatakan bahwa semakin sering bahasa itu dipakai, semakin fasihlah penuturnya. Adapun factor yang mempengaruhi yaitu factor internal dan eksternal.
Faktor internal mencakup antara lain :
Pemakain internal seperti menghitung, perkiraan, berdoa, menyumpah,mimpi,menulis catatan harian, dan mencatat
Atitude : bakat atau kecerdasan, dan ini dipengaruhi oleh antara lain : 1. Sex 2. Usia 3. Intelegensi 4. Ingatan 5. Sikap bahas 6. Motivasi
Faktor eksternal di pengaruhi oleh :
Kontak, artrinya kontak penutur dengan bahasa di rumah, bahasa dalam masyarakat, bahasa disekolah, bahasa media masa, dan korespondensi.
Variabel artinya variable dari kontak penutur tadi dan ditentukan oleh 1. Lamanya kontak, 2 seringnya kontak, 3. Tekanan, artinya bidang yang mempengaruhi penutur dalam pemakaian bahasa, seperti ekonomi, administrative, cultural, politik, militer, historis, agama, dan demograf.
Pergantian antar bahasa ( alternation)
Pergantian antar bahasa ini bergantung pada kefasihan dan juga fungsi eksternal dan internal. Kondisi-kondisi penutur berganti bahasa diciptakan paling tidak oleh tiga hal , yang pertama topic pembicaraan, yang kedua orang yang terlibat dan ketegangan ( tension)
Interfensi ( interference)
Interfensi adalah kekeliruan yang disebabkan terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa atau dialeg ibu kedalam bahasa dialeg kedua. Interfensi bias terjadi pada pengucapan, tata bahasa, kosa kata dan makna bahkan budaya. Diskripsi interfensi dengan demikian bersifat individual, jadi bersifat idiosinkrasi dan parole penutur.
Selain empat aspek yang telah dikemukakan oleh Meckey, Alwasilah menambahkan dua aspek lainnya, yaitu:
Pergeseran bahasa (Language shift)
Bila suatu kelompok baru dating ke tempat lain dan bercampur dengan kelompok setempat maka akan terjadilah pergeseran bahasa ( language shift)
Konvergensi ( convergence) dan Indonesianisasi
Konvergensi adalah kegiatan bertemu dan terutama bergerak menuju kesatuan dan keseragaman.
Kedwibahasaan yang ada di Indonesia, yaitu :
Bahasa daerah dan bahasa Indonesia
Kedwibahasaan di Indonesia (bahasa Daerah dan bahasa Indonesia).
Penggunaan kedwibahasaan ini dapat terjadi karena:
Dalam sumpah pemuda tahun 1928 menggunakan bahasa Indonesia (pada waktu itu disebut Maleis)dikaitka dengan perjuangan kemerdekaan dan nasionalisme.
Bahasa – bahasa daerah mempunyai tempat yang wajar disamping pembinaan dan pengembangan bahasa dan kebudayaan Indonesia.
Perkawinan campur antar suku
Perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lain disebabkan urbanisasi, transmigrasi, mutasi karyawan atau pegawai, dan sebagainya.
Interaksi antar suku: yakni dalam perdagangan, sosialisasi dan urusan kantor atau sekolah.
Motivasi yang banyak didorong oleh kepentingan profesi dan kepentingan hidup.
Namun, sering para penutur bahasa daerah yang juga penutur bahasa Indonesia menggunakan bahasa daerahnya yang bersifat informal disebabkan oleh beberapa factor antara lain:
Pada upacara adat yang mengharuskan penggunaan bahasa daerah akan lebih mengesankan dan lebih sesuai dengan suasana yang diharapkan.
Untuk menciptakan suasana khas; umpamanya, antara anggota- anggota keluarga, teman akrab dan sebagaianya.
Untuk kepentingan sastra dan menikmati budaya.

Simpulan
Kondisi kebahasaan di Indonesia saat ini cukup memprihatinkan, terutama penggunaan bahasa Indonesia di tempat umum, seperti pada nama bangunan, pusat perbelanjaan, hotel dan restoran, serta kompleks perumahan, sudah mulai tergeser oleh bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Tempat yang seharusnya menggunakan bahasa Indonesia itu mulai banyak yang menggunakan bahasa yang tidak lagi menunjukkan jati diri keindonesiaan. Akibatnya, wajah Indonesia menjadi tampak asing di mata masyarakatnya sendiri.
Bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa disebut orang yang bilingual (dwibahasawan), sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas (kedwibahasawanan). Masalah-masalahnya yaitu:
Sejauh mana taraf kemampuan seseorang akan B2 sehingga dia dapat disebut sebagai seorang yang bilingual?
Kapan seorang bilingual menggunakan kedua bahasa itu secara bergantian? Kapan pula di dapat secara bebas untuk dapat menggunakan B1-nya atau B-2 nya?
Apakah bilingualisme berlaku pada satu kelompok masyarakat tutur?

Daftar Pustaka

Abdul Chaer & Leonie Agustina, Sosiolinguistik Suatu Pengantar, Jakarta, Rineka Cipta, cet-1,1995
`

Tidak ada komentar:

Posting Komentar