Halaman

Pages

Laman

Jumat, 04 September 2015

PEMERTAHANAN DIALEK BANYUMAS TERHADAP DOMINASI DIALEK SOLO-YOGYA



PEMERTAHANAN DIALEK BANYUMAS TERHADAP DOMINASI DIALEK SOLO-YOGYA
Rini Susanti
ABSTRAK
Artikel ini mendriskripsikan mengenai pemertahanan dialek antara dialek Banyumas dan dialek Solo-yogya. Ada berbagai sebab atau alasan mengapa suatu bahasa punah atau tidak digunakan lagi oleh penutur-penuturnya. Satu diantaranya adalah adanya dominasi atau dialek yang lebih besar baik secara demografis, ekonomis, sosial, atau politis, seperti apa yang dialami oleh dialek Banyumas dari tekanan bahasa Jawa Solo-Yogya. Untuk Pemertahanan dialek Banyumas, kebijakan pembinaan bahasa Jawa, haruslah memberi peluang yang seluas-luasnya bagi penutur-penuturnya untuk menggunakan dialek Banyumas sehingga dialek ini bisamenjadi alat komunikasi yang utama dalam ranah keluarga dan masyarakat dalam mengembangkan budaya lokalnya.
Kata kunci : Dialek dan Pemertahanan bahasa.
Pendahuluan
Dalam situasi persatuan dan dalam kebinekaan, kebijakan bahasa nasional menggariskan bahwa bahasa indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi. Sebagai bahsa nasional bahasa indonesia adalah lambang semangat kebangsaan, alat penyatuan berbagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang kebahasaan, kebudayaan,dan kesukuannya ke dalam satu masyarakat nasional indonesia, alat perhubungan antar suku, antardaerah, dan serta antarbudaya.
Sementara itu, dalam kedudukannya sebagai bahasa resmi bahasa indonesia adalah bahasa resmi pemerintahan, bahasa pengantar di dunia pendidikan, alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional, serta alat pengembangan kebudayaan , ilmu pengetahuan dan teknologi (Halim, 1980,17; periksa pula Wijana, 2003; 235). Sementara bahasa-bahasa daerah harus tetap dipelihara karena merupakan bagian dari kebudayaan nasional yang hendak dipersatukan, seperti terlihat jelas dalam bunyi kebijakan pengembangan bahasa daerah berikut ini: “ bahasa-bahasa daerah yang masih dipakai sebagai alat perhubungan yang masih hidup dan dibina oleh masyarakat pemakainya, dihargai dan dipelihara oleh negara oleh karena bahasa-bahasa itu adalah bagian dari kebudayaan yang hidup”.
Beranalogi dengan kebijakan ini, maka bahasa daerah tentu merupakan alat perhubungan intraetnis yang merupakan lambang semangat kedaerahan. Sementara itu, dialek-dialeknya merupakan alat perhubungan subetnis yang harus dipelihara keberadaanya sebagai pendukung pemerkaya bahasa jawa standar. Hanya saja, berkacamata dari kebijakan yang pernah dilakukan terhadap bahasa indonesia dan bahasa-bahasa daerah yang pada masa orde baru. Pembinaan bahasa daerah justru mendapat porsi yang sangat kecil sehingga banyak bahasa-bahasa daerah terancam keberadaannya. Bila bahasa daerah sendiri kurang diperhatikan, dapat dipastikan dialek-dialeknya juga mengalami nasib yang lebih memprihatinkan. Dalam masa reformasi terjadi pembalikan. Orang-orang bereuforia mengagung-agungkan semangat kedaerahan yang bila tidak diwaspadai justru akan meruntuhkan semangat kebangsaan. Dalam upaya pembinaan bahasa daerah jawa khususnya, perlu selalu ditekankan pemeliharaan terhadap dialek-dialek pendukungnya dengan tetap memerhatikan kedudukannya untuk tidak melewati fungsi-fungsi yang dimiliki oleh bahasa indonesia sebagai bahasa nasional.
Pembahasan
Sebagaimana kajian tentang pilihan bahasa, pergeseran dan pemertahanan bahasa dikaji dengan berbagai metode, bergantung kepada disiplin akademik para pakar. Pakar antropologi dan linguistik antropologi memakai metode yang sama, terutama pengamatan berpartisipasi, sebagaimana mereka pakai dalam kajian pilihan bahasa. Para peneliti yang berorientasi antropologis biasanya mengkaji pilihan bahasa sekaligus dengan pergeseran dan pemertahanan bahasa sebagai bagian dari gejala yang sama. Pencarian sebab-sebab umum dan universal bagi terjadinya pemertahanan dan pergeseran bahasa akan ditarik dari kajian tentang sejumlah penelitian intensif terhadap guyup-guyup secara individual.
Pergeseran bahasa dan pemertahanan bahasa sebenarnya seperti dua sisi mata uang, bahasa menggeser bahasa lain atau bahasa yang tak tergeser oleh bahasa. Bahasa tergeser adalah bahasa yang tidak mampu mempertahanka diri. Kedua kondidi itu merupakan akibat dari pilihan bahasa dalam jangka panjang ( paling tidak tiga generasi) dan bersifat kolektif dilakukan oleh seluruh warga guyup). Dalam pemertahanan bahasa, guyup itu secara kolektif menentukan untuk melanjutkan memakai bahasa yang sudah bisa dipakai. Ketika guyup tutur mulai memilih bahasa baru di dalam ranah yang semula diperuntukan bagi bahasa lama, itulah mungkin merupakan tanda bahwa pergeseran sedang berlangsung. Jika ara warga itu monolingual ( ekabahasawan ) dan secara kolektif tidak menghendaki bahasa lain, mereka jelas mempertahankan pola penggunaan bahasa mereka. Namun, pemertahanan bahasa itu sering merupakan ciri guyup dwibahasa atau ekabahasa. Yang pertama akan terjadi jika guyup itu diglosik : guyup itu memperuntukkan ranah tertentu untuk setiap bahasa sedemikian rupa sehingga batas ranah suatu bahasa tidak dilampaui atau diterobos oleh bahasa lain.
1.      Dialek Banyumasan  dan Dialek Solo-Yogya
Ilmuwan E.M. Uhlenbeck membagi beberapa rumpun bahasa yang berada di wilayah jawa tengah adalah bahasa Jawa bagian Tengah (Surakarta, Yogyakarta, Semarang dll) dan kelompok bahasa Jawa bagian Timur.menjadii tiga bagian rumpun bahasa Jawa bagian barat (Banyumasan, Tegalan, Cirebonan dan Banten Utara). Dari masing-masing pembagian tersebut memiliki karakteristik masing-masing.
            “ Basa Busananing bangsa “ secara arti memang dapat dikatakan bahwa bahasa menjadi penanda siapa penutur bahasa tersebut. Dengan, arti ini setiap bahasa memiliki kebudayaannya masing-masing dan memiliki keunikan masing-masing. Keunikan –keunikan masing masing bahasa itu menjadi penanda budaya yang hidup dalam masyarakat bahasa tersebut.
            Bahasa yang sifatnya arbitrer tersebut mempu menghasilkan system budaya baru yang akan menandakan bagaimana budaya pada mayrakat tersebut tumbuh. Jawa bagian barat yang mewakili karakteristik bahasa Banyumasan dalam bertutur memang memiliki ke khasan sendiri di bandingankan dengan bahasa jawa wetanan yang sekarang lebih dikenal sebagai bahasa jawa standar.
            Dialek Banyumasan memang memiliki karakteristik tersendiri di bandingkan dengan bahasa wetanan, ke khasan ini terlihat pada bebrapa hal , yang pertama yaitu akhiran ‘a’ tetap diucapkan ‘a’ bukan ‘o’. Jadi jika di bagian solo/jogja’orang mengatakan “rekoso”, di wilayah Banyumasan orang mengatakan rekasa Selain itu, dalam dialek Banyumasan akhiran untuk huruf mati dibaca penuh. Contoh kata “kepenak”, jika disampaikan orang bahasa wetanan huruf “k” hilang diganti dengan tekanan pada huruf “ ’a”, seperti pengucapan kata jum’at. Sedangkan pada kawasan Banyumasan di baca kepenak dengan “k” dibaca penuh.
Bila tidak ada bahasa secara linguistik lebih unggul dari bahasa yang lain, maka tidak ada pula dialek yang lebih unggul daripada dialek yang lain. Dialek Banyumas yang sering dikatakan sebagai bahasa “ngapak-ngapak” memiliki kekhususan-kekhususan linguistik yang tidak dimiliki oleh bahasa Jawa standar. Ngapak kata lain untuk Bahasa Jawa Dialek Banyumas.
Bahasa Jawa terdiri dari beberapa dialek dengan kekhasan masing-masing. Salah satunya dialek Banyumas. Perbedaan dengan dialek lain (misal dialek Yogya, Solo, Kedu) penggunaan huruf a. Pada dialek Banyumas ibarat huruf Jawa masih asli dibaca ha, na , ca, ra, ka, dha, ta, sa ,wa, la, pa, da, ja, ya, nya, ma, ga, ba, tha, nga. Sementara pada dialek  wetanan atau bandek (Yogya, Solo dll) menggunakan vokal o, ho, no, co, ro, ko, dstrsnya.
Untuk memudahkan inilah beberapa kosa kata dalam dialek Banyumas dan dialek wetanan (timur).
Nasi = sega  wetanan  sego
pergi = lunga   = lungo
gula = gula   = gulo
minyak = lenga = lengo
pergi jauh =ngumbara =ngumboro
kerja = kerja/ngode = kerjo.
Perbedaan untuk kosa kata yang sama pada huruf vokal akhir. Pada dialek bandek/wetan menggunakan vokal o, sementara pada huruf akhir a pada dialek Banyumas  tetap a. Dialek Banyumas digunakan  oleh pengguna bahasa Jawa di wilayah Banyumas, Purbalingga, Cilacap, Banjarnegara (Banyumas Raya), juga Kebumen, Bumiayu. Sementara untuk Tegal dialeknya sedikit berbeda hingga disebut Bahasa Jawa dialek Tegal.
Bagi sebagian besar penggunanya  Bahasa Jawa dialek Banyumas masih digunakan, bahkan di perantauan pun mereka tetap berdialek Banyumas. Akan tetapi ada sebagian lain yang malu berdialek Banyumas. Apa lagi jika sedang berada di Yogya, Solo, Semarang yang mayoritas bandek. Percakapan menggunakan dialek Banyumas dianggap lucu, menggelikan, bahkan dianggap ndesa atau kampungan. Bagi saya anggapan bahwa dialek Banyumas itu medok dan anggapan lain yang merendahkan adalah salah satu bentuk kesombongan budaya. Rupanya tujuan untuk membedakan kelas sosial masyarakat dengan vokal o di akhir kata sukses bahkan hingga generasi terkini. Dialek Banyumas dengan vokal a di akhir kata dianggap lebih rendah. Bahasa salah satu unsur budaya, merendahkan salah satu budaya artinya merendahkan juga budaya Banyumas. Diakui Banyumas memiliki ciri khas budaya sendiri yang berbeda dengan budaya keraton atau alusan/halus.
2.      Pengajaran Dialek banyumas
Pada saat ini ditenggarai adanyakeengganan dari para orang tua untuk mengajarkan dialek Banyumas kepada anak-anak mereka sehingga timbul kekhawatiran akan punahnya varian bahasa itu bersama-sama dengan budaya yang diwahanainya dalam beberapa dekade mendatang. Para orang tua, terutama yang ada diperkotaan lebih senang langsung mengajarkan bahasa indonesia, bahasa yang digunakan sebagai medium intruksional disekolah-sekolah. Banyak diantara mereka berpandangan bahwa pengajara dialek Banyumas justru akan mengganggu usaha anak dalam menguasai bahasa indonesia. Sebagai akibatnya generasi muda tidak lagi mahir menggunakan bahasa ibunya, atau karena prestise beralih ke bahasa Jawa standar, dialek Solo-Yogya. Pandangan yang keliru ini harus segera dihilangkan dengan menyadarkan orang tua bahwa pembelajaran dua bahasa atau lebih akan menimbulkan gangguan. Justru sebaliknya, orang-orang bilingual memiliki berbagai keuntungan. Orang-orang bilingual yang sudah terbiasa melihat sesuatu dengan sudut pandang yang berbeda, atau bahkan bertentangan , akan lebih toleran terhadap perbedaan-perbedaan bila dibandingkan dengan rekan-rekanya yang monolingual. Sikap ini sangat diperlukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang didasarkan atas bermacam-macam perbedaan seperti indonesia dan dalam bergaul dengan bangsa-bangsa lain dalam era globalisasi.
3.      Anggapan
            Mungkinkah karena karakteristik yang berbeda tersebut menjadikan bahasa Banyumasan terkesan sebagai bahasa kelas 2 yang memang sering diidentikan dengan bahasa kelas bawah, bahkan bahasa kelas babu, karena aksen yang muncul terkesan urakan dan kasar. Hal ini kedepan mungkin agaknya mampu menjadikan tergusurnya suatu khasanah kebudayaan bahasa tersebut karena memunculkan sikap inferioritas dari penutur serta sikap lebih baik dari kbeudyaan bahasa yang lain.
4.      Sejarah yang menjawab
            Benarkah bahasa ngapak itu adalah bahasa kelas dua atau bahkan bahasa babu yang sulit untuk dimengerti. Anggapan disini patutnya harus dihindari da dihilangkan dalam amsyarakat tutur. Patutnya kita melihat sejarah bagaimana bahasa dialek masing-masing muncul.
Seperti yang disampaikan pakar bahasa bahwa Logat Banyumasan ditengarai sebagai logat bahasa jawa yang tertua. Hal ini ditandai dengan beberapa kata dalam Bahasa Kawi/Sanksekerta yang merupakan nenek moyang dari bahasa jawa yang masih dipakai dalam logat Banyumasan seperti kata rika (jw = kowé, ind = kamu), juga kata inyong yang berasal dari ingong serta pengucapan vokal a yang utuh tidak seperti å (baca a tipis / miring) yang menjadi pengucapan dialek Banyumasan seperti halnya bahasa Sanksekerta. Sebelum terkena pengaruh dari keraton/kerajaan, bahasa jawa hampir tidak ada perbedaan antara krama inggil dan ngoko. Setelah masa kerajaan-kerajaan Jawa, maka bahasa Jawa mengalami penghalusan, yaitu bahasa yang dipakai oleh rakyat biasa dan yang dipakai oleh keluarga kerajaan dibedakan pengucapannya walaupun maknanya sama.
Dari penryataan diatas dapat disebutkan bahwa masyarakat banyumasan adalah masyarakat yang memiliki khasanah bahasa jawa awal, dank ke-awalan ini harus tertap dijaga agar tidak punah atau tinggal menjadi catatan saja.
Sedangkan bahasa wetanan yang sering disebut Bandhekan Menurut M. Koderi (salah seorang pakar budaya & bahasa Banyumasan), kata bandhek secara morfologis berasal dari kata gandhek yang berarti pesuruh (orang suruhan/yang diperintah), maksudnya orang suruhan Raja yang diutus ke wilayah Banyumasan, karena memang wilayah banyumas jauh dari kerajaan maka muncul sebutan orang banyumasan ‘ adoh ratu cedhak watu “. Sebutan yang muncul dari kalangan banyumas berupa bhandekan juga tidak lepas dari bagaimana awal mula bahasa ini muncul.
            Sebuah sikap dalam masyarakat berbahasa perlu dikembangkan, sebuah sikap yang dilahirkan untuk menjadikan kedewasaan dalam masyarakat berbahasa. Sebuah sikap awal yang perlu dikembangkan adalah semangat untuk tidak menghidupkannya anggapan adanya bahasa kelas dua, entah dengan melakukan pendeskridtitan atau ejeken. Sikap tidakmendeskriditkan suatu bahasa dalam kesan jelek dan lainnya merupakan salah satu upaya mempertahankan sebuah kebudayaan bahasa, karena jika sikap ini masih saja ada, maka memungkinkan untuk hilangnya suatu khasanah kebahasaan, mengutip puisi “manusia akan tetap bertahan bila dikekang, tida diberi pekerjaan, tidak diberi kebebasan berbicara, atau diambil harta bendanya, tetapi akan tidak berdaya jika tidak diberi kesempatan menggunakan bahasa warisan nenek moyangnya”.
            Sikap lainnya adalah tidak inferiornya anak-anak cablaka ( sebutan orang banyumas ) untuk tetap menggunakan dialeknya untuk senantiasa melestarikan kekayaan dialek jawa yang ada. Dengan demikian masrakat berbahasa akan lebih kaya dalam berbahasa, dengan saling menghargai perbedaan maka memungkinakan timbulnya masyrakat multilingual yang mengerti bahasa masing-masing. Sehingga menimbulkan keuntungan intelektual pula serta hidup dengan masyarakat multilingual akan lebih menguntungkan.
            Dengan perbedaan ini bukan mejadikan adanya konflik namun seetidaknya dengan berawal dari itikad yang baik untuk tetap melestarikan suatu budaya, proses keberlangsungan suatu kebudayaan juga akan mendapatkan jalan yang lebih mudah. Keragaman bukanlah alasan untuk saling merandahkan, justru dengan keragaman itulah kita akan memperoleh kebanggaan bersama.
5.      Pemertahanan Bahasa
Pemeliharaan sebuah bahasa tidak cukup hanya dengan sebuah usaha mendeskripsikan sistem kebahasaan dan wilayah pemakaiannya, seperti yang telah dilakukan oleh para ahli bahasa selama ini. Namun yang tidak kalah penting dari itu semua adalah penumbuhan rasa bangga dalam diri penutur penutur dialek Banyumas untuk menggunakan bahasanya. Dengan dua usaha diatas, niscaya dialek Banyumas akan tetap bertahan dan memberikan sumbangan kepada bahasa Jawa standar dalam mengembangkan budaya jawa yang adiluhung. Bahasa Jawa standar hendaknya di satu pihak dikembangkan tidak melampaui status bahasa indonesia dan di pihak lain tidak melenyapkan dialek-dialek pendukungnya.
Simpulan
Dalam situasi persatuan dan dalam kebinekaan, kebijakan bahasa nasional menggariskan bahwa bahasa indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi. Sebagai bahsa nasional bahasa indonesia adalah lambang semangat kebangsaan, alat penyatuan berbagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang kebahasaan, kebudayaan,dan kesukuannya ke dalam satu masyarakat nasional indonesia, alat perhubungan antar suku, antardaerah, dan serta antarbudaya.
Bahasa daerah merupakan alat perhubungan intraetnis yang merupakan lambang semangat kedaerahan. Sementara itu, dialek-dialeknya merupakan alat perhubungan subetnis yang harus dipelihara keberadaanya sebagai pendukung pemerkaya bahasa jawa standar.
Daftar Pustaka
Rohmadi, Muhammad. 2010. Sosiolinguistik Kajian Teori dan Analisis.     
             Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Sumarsono. 2010. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka pelajar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar