Halaman

Pages

Laman

Jumat, 04 September 2015

PENYEBAB AUTISME PADA MASYARAKAT



SALAH SATU PENYEBAB AUTISME PADA MASYARAKAT
KHUSUS NYA DI DAERAH PEDESAAN

Eka Hardiyanti
Universitas Pekalongan

Sari
Artikel ini mendeskripsikan dan membahas tentang salah satu penyebab autisme pada masyarakat di pedesaan. Faktor penyebabnya adalah PERNIKAHAN DINI PADA REMAJA. Dampak nya yaitumengakibatkan anak dari hasil pernikahan dini mengalami autisme karena kerentanan pada ibu yang mengandung kurang siap baik kesiapan dari segi mental,usia dan kondisi kematangan dalam kandungan ibu. Maka dari itu pemerintah menetapkan batas minimal bagi perempuan untuk menikah yaitu 21 tahun, hal tersebut di berlakukan untuk meminimalkan terjadinya autisme pada bayi dari hasil pernikahan dini. Pernikahan dini pada remaja di daerah pedesaan sangat banyak, hal tersebut terjadi karena kurangnya pengetahuan tentang akibat dan faktor penyebab autisme pada bayi dan juga kurangnya pengetahuan tentang kesiapan kandungan dan mental pada si ibu yang sedang mengandung. Adanya sosialisasi tentang penyebab autisme bagi masyarakat yang kurang pengetahuan sangatlah perlu, khususnya bagi masyarakat pedesaan karena mayoritas dari mereka hanya mengetahui bahwa autisme terjadi saat bayi sudah lahir padahal autisme terjadi saat masih dalam kandungan.
Pendahuluan
Pengertian Autis
Autis adalah gangguan perkembangan saraf yang kompleks dan ditandai dengan kesulitan dalam interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku terbatas berulang-ulang dan karakter stereotip. Gejala autis muncul sebelum 3 tahun kelahiran sang anak, autis merupakan salah satu dari tiga gangguan autisme spectrum disorder. Dua di antaranya adalah sindrome asperger dan PDD-NOS (pervasive developmental disorder –not otherwise specified)
Pembahasan
Pengetahuan pada masyarakat di daerah pedesaan tentang bahaya dan faktor penyebab autisme sangatlah sedikit. Banyak diantara mereka tidak mengetahui bahwa autisme terjadi salah satu nya karena banyaknya pernikahan dini pada remaja. Mengapa autisme terjadi karena pernikahan dini? Karena pernikahan dini yang terjadi pada remaja khususnya perempuan mengakibatkan ketidak siapan baik secara mental, fisik,usia dan kandungan bagi para ibu yang nantinya akan mengandung. Masyarakat pedesaan tidak terlalu mengedepankan masalah kesehatan yang sesungguhnya sangat penting bagi para ibu dan bayinya, kurang nya pengetahuan juga salah satu penyebabnya. Masyarakat desa cenderung berfikir autis adalah penyakit idiot atau kekurangan mental yang terjadi kaena keturunan atau kondisi bayi yang sakit setelah lahir, padahal autisme terjadi sejak bayi ada pada kandungan ibu, keluarga sekitar yang juga tidak memiliki pengetahuan tentang kesehatan juga menambah daftar terjadi nya autisme pada bayi yang dilahirkan dari hasil pernikahan dini. Banyak dari orang tua justru menikahkan anak-anak nya di usia yang belum matang secara fisik maupun kondisi mental nya, kebanyakan remaja di desa tidak mengenyam bangku sekolah sampai tingkat tinggi karena itu banyak yang menganggap masalah ini bukan masalah yang serius, kurang nya pendidikan pada remaja desa dan sering nya terjadi seks bebas walaupun di kalangan remaja desa mengakibatkan orang tua menikahkan anak mereka pada usia yang rentan terjadi masalah dalam rumah tangga. Masyarakat desa berpandangan bahwa kodrat perempuan berada di dalam rumah dan mengurus keluarga, mereka tidak berfikir bahwa pendidikan bagi generasi muda sangatlah penting. Pernikahan yang terjadi pada remaja desa kebanyakan terjadi bukan karena berlandaskan kedewasaan tetapi berlandaskan karena ego orang tua dan kesalahan mendidik pada remaja itu sendiri. Bahkan materi bisa dijadikan salah satu faktor penyeab pernikahan dini itu sendiri, karena tidak sedikit pula orang tua yang menikahkan remaja atau anak mereka untuk mendapatkan sebuah pengakuan dari masyarakat sekitar bahwa anak mereka mampu menikah dengan orang berada.
Padahal menikahkan anak pada usia dini yaitu 18th kebawah sangat rentan terhadap bahaya autisme, mengapa? Karena ketidak mapanan atau ketidak siapan mental pada perempuan yang masih belia sangat rentan terjadi nya masalah kesehatan baik bagi ibu maupun bayi yang dikandung, calon ibu yang hamil pada usia dini sangat minim pengetahuan tentang kesehatan kandungan dan cara asuh bayi saatmasih didalam kandungan, mereka berfikir cara asuh bayi hanya dilakukan pada saat bayi sudah lahir padahal perawatan dan pengasuhan bayi dimulai sejak bayi masih dalam kandungan dengan cara memperhatikan kesehatan kandungan dan memberikan asupan gizi yang cukup, serta dengan rutin memeriksakan kondisi kandungan pada dokter atau bidan sangatlah perlu. Kondisi seperti inilah yang perlu diwaspadai pada masyarakat didaerah pedesaan. Mental ibu yang belum siap pun menjadi faktor penyebab autisme karena mental bagi ibu hamil sangatlah penting, banyak dari ibu yang hamil pada usia belasan tahun tidak memerhatiakan hal ini karena informasi yang beredar dalam masyarakat desa bahwa autisme tidak terjadi saat bayi masih dalam kandungan tetapi ketika bayi sudah lahir.
Maka dari itu pemerintah ikut serta turun tangan untuk menghadapi kondisi ini dengan cara memberlakukan undanga-undang usia menikah minimal 21th bagi perempuan. Cara ini cukup membantu terjadinya pernikahan dini pada remaja.
Pendidkan tentang kesehatan pada masyarakat pedesaan sangatlah tabu dan kurang, padahal untuk hal semacam ini pendidikan atau pengetahuan bagi masyarakat sangatlah perlu, untuk meminimalkan terjadinya pernikahan dini bagi remaja yang nantinya mengakibatkan kelahiran bayi autis juga perlu di kembangkan pendidikan dalam masyarakat desa. Karena sejatinya remaja berkewajiban meningkatkan dan meneruskan perjuangan untuk meningkatkan kualitas SDM.
Akibat dari pernikahan dini tidak hanya autisme tetapi masih banyak lagi penyakit yang menyerang bayi yang salah karena pola asuh dari ibu yang masih belum siap kondisi fisik dan mentalnya.
Adanya pos pelayanan terpadu dalam desa pun tidak cukup membantu bagi masyarakat yang kurang pengetahuan tentang bayi autis. Perlu di perhatikan beberapa pencegah terjadi nya autisme yaitu pola berfikir masyarakat pedesaan juga perlu dirubah dan diberi pengetahuan tentang kesehatan bayi dan bahaya pernikahan dini bagi ibu dan bayi. Karena pada dasarnya menikah dan mengandung membutuhkan kesiapan yang matang, agar nantinya bayi yang lahir menjadi sehat tanpa kekurangan apapun. Pola asuh terhadap bayi senantiasa sejak pada trimester pertama harus diperketat, karena tidak hanya autisme yang nantinya akan menyerang bayi tersebut, kebanyakan bayi mengidap penyakit kebocoran jatung karena pola asuh ibu saat mengandung tidak baik dan kurang memerhatikan nya. Tidak hanya itu asupan makanan yang masuk kedalam tubuh ibu yang sedang mengandung juga perlu di perhatikan, kebanyakan ibu yang sedang mengandung tidak membatasi makanan yang masuk kedalam tubuh, makannan instan atau junk food sebaik nya dihindari agar vitamin yang masuk kedalam tubuh bayi bisa diserap dengan baik. Umumnya masyarakat desa tidak memiliki pengetahuan tentang perawatan dan pola asuh janin saat berada dalam kandungan.
Pada hakikatnya autis bukanlah sebuah penyakit melainkan sindrome yang terjadi didalam janin ibu karena cara perawatan dan pola asuh yang salah saat mengandung.
Secara historis, para ahli dan peneliti dalam bidang autisme mengalami kesulitan dalam menentukan seseorang sebagai penyandang autisme atau tidak. Pada awalnya, diagnosa disandarkan pada ada atau tidaknya gejala namun saat ini para ahli setuju bahwa autisme lebih merupakan sebuah kontinuum. Gejala-gejala autisme dapat dilihat apabila seorang anak memiliki kelemahan di tiga domain tertentu, yaitu sosial, komunikasi, dan tingkah laku yang berulang
Aarons dan Gittents (1992) merekomendasikan adanya suatu pendekatan deskriptif dalam mendiagnosa autisme sehingga menyertakan pengamatan-pengamatan yang menyeluruh di setting-setting sosial anak sendiri. Settingnya mungkin di sekolah, di taman-taman bermain atau mungkin di rumah sebagai lingkungan sehari-hari anak dimana hambatan maupun kesulitan mereka tampak jelas di antara teman-teman sebaya mereka yang normal.
Persoalan lain yang memengaruhi keakuratan suatu diagnosa seringkali juga muncul dari adanya fakta bahwa perilaku-perilaku yang bermasalah merupakan atribut dari pola asuh yang kurang tepat. Perilaku-perilaku tersebut mungkin saja merupakan hasil dari dinamika keluarga yang negatif dan bukan sebagai gejala dari adanya gangguan. Adanya interpretasi yang salah dalam memaknai penyebab mengapa anak menunjukkan persoalan-persoalan perilaku mampu menimbulkan perasaan-perasaan negatif para orang tua. Pertanyaan selanjutnya kemudian adalah apa yang dapat dilakukan agar diagnosa semakin akurat dan konsisten sehingga autisme sungguh-sungguh terpisah dengan kondisi-kondisi yang semakin memperburuk? Perlu adanya sebuah model diagnosa yang menyertakan keseluruhan hidup anak dan mengevaluasi hambatan-hambatan dan kesulitan anak sebagaimana juga terhadap kemampuan-kemampuan dan keterampilan-keterampilan anak sendiri. Mungkin tepat bila kemudian disarankan agar para profesional di bidang autisme juga mempertimbangkan keseluruhan area, misalnya: perkembangan awal anak, penampilan anak, mobilitas anak, kontrol dan perhatian anak, fungsi-fungsi sensorisnya, kemampuan bermain, perkembangan konsep-konsep dasar, kemampuan yang bersifat sikuen, kemampuan musikal, dan lain sebagainya yang menjadi keseluruhan diri anak sendiri.
Anak dengan autisme dapat tampak normal pada tahun pertama maupun tahun kedua dalam kehidupannya. Para orang tua seringkali menyadari adanya keterlambatan kemampuan berbahasa dan cara-cara tertentu yang berbeda ketika bermain serta berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tersebut mungkin dapat menjadi sangat sensitif atau bahkan tidak responsif terhadap rangsangan-rangsangan dari kelima panca inderanya (pendengaran, sentuhan, penciuman, rasa dan penglihatan). Perilaku-perilaku repetitif (mengepak-kepakan tangan atau jari, menggoyang-goyangkan badan dan mengulang-ulang kata) juga dapat ditemukan. Perilaku dapat menjadi agresif (baik kepada diri sendiri maupun orang lain) atau malah sangat pasif. Besar kemungkinan, perilaku-perilaku terdahulu yang dianggap normal mungkin menjadi gejala-gejala tambahan. Selain bermain yang berulang-ulang, minat yang terbatas dan hambatan bersosialisasi, beberapa hal lain yang juga selalu melekat pada para penyandang autisme adalah respon-respon yang tidak wajar terhadap informasi sensoris yang mereka terima, misalnya; suara-suara bising, cahaya, permukaan atau tekstur dari suatu bahan tertentu dan pilihan rasa tertentu pada makanan yang menjadi kesukaan mereka.
Beberapa atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat diamati pada para penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi yang teringan hingga terberat sekalipun.
1.      Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa.
2.      Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
3.      Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar.
4.      Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali.
5.      Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang tertentu
Para penyandang Autisme beserta spektrumnya sangat beragam baik dalam kemampuan yang dimiliki, tingkat intelegensi, dan bahkan perilakunya. Beberapa di antaranya ada yang tidak 'berbicara' sedangkan beberapa lainnya mungkin terbatas bahasanya sehingga sering ditemukan mengulang-ulang kata atau kalimat (echolalia). Mereka yang memiliki kemampuan bahasa yang tinggi umumnya menggunakan tema-tema yang terbatas dan sulit memahami konsep-konsep yang abstrak. Dengan demikian, selalu terdapat individualitas yang unik dari individu-individu penyandangnya.
Terlepas dari berbagai karakteristik di atas, terdapat arahan dan pedoman bagi para orang tua dan para praktisi untuk lebih waspasa dan peduli terhadap gejala-gejala yang terlihat. The National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) di Amerika Serikat menyebutkan 5 jenis perilaku yang harus diwaspadai dan perlunya evaluasi lebih lanjut :
1.      Anak tidak bergumam hingga usia 12 bulan
2.      Anak tidak memperlihatkan kemampuan gestural (menunjuk, dada, menggenggam) hingga usia 12 bulan
3.      Anak tidak mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16 bulan
4.      Anak tidak mampu menggunakan dua kalimat secara spontan di usia 24 bulan
5.      Anak kehilangan kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada usia tertentu
Adanya kelima ‘lampu merah’ di atas tidak berarti bahwa anak tersebut menyandang autisme tetapi karena karakteristik gangguan autisme yang sangat beragam maka seorang anak harus mendapatkan evaluasi secara multidisipliner yang dapat meliputi; NeurologPsikologPediatricTerapi WicaraPaedagog dan profesi lainnya yang memahami persoalan autisme.
Dokter spesialis yang cocok untuk mendeteksi Autisme adalah Dokter Spesialis Anak (Sp.A) yang dibantu oleh Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (Sp.KJ) untuk mengetahui antara lain tingkat kecerdasan Balita, Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala leher (Sp.THT-KL) untuk mengetahui antara lain pendegaran Balita Yang tidak/kurang responsif terhadap suara atau bahkan tidak dapat berkata-kata dan dapat disangka penderita Autisme, padahal bukan.

Kesimpulan
Dalam masyarakat pedesaan penaganan khusus untuk memahami apa itu autis dan apa penyebab autis.
Kebanyakan diantara kita mengira autis adalah penyakit, sebenarnya autis adalah sindrome yang terjadi pada saat masih dalam kandungan, dann ternyata pernikahan dini pada remaja menjadi salah satu faktor penyebab autis sekarang ini. Pernikahan dini di nilai menjadi salah satu faktor karena belum ada nya kesiapan pada para calon ibu mudda untuk mengandung, kesiapan yang di maksud adalah kesiapan mental,fisik,usia,dan kandungan si ibu. Kurangnya pengetahuan didalam masyarakat desa tentang kasus ini menimbulkan pemikiran baru bagi pemerintah untuk mengeluarkan undang-undang tentang batas minimal usia pernikahan bagi perempuan. Tindakan pemerintah juga bertujuan untuk meminimalkan terjadi nya penyakit lain yang terjadi pada remaja yang mengandung seperti penyakit kebocoran jantung yang di akibatkan oleh lemahnya kandungan ibu dan pemberian asupan makanan pada baayi saat masih dalam kandungan.


Daftar Pustaka
Delphie, B. (2006). Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung: PT Refika Aditama.

























Tidak ada komentar:

Posting Komentar