Halaman

Pages

Laman

Minggu, 15 November 2015

RUU PERDUKUNAN?



RUU PERDUKUNAN?
Oleh: Taofiq Arrohman

Semua orang ramai membicarakan manusia dari Tanjung Duren, Jakarta Barat “Eyang Subur” yang katanya memiliki ilmu gaib yang tinggi. Kasus Eyang Subur dan Adi Bing Slamet semakin melambung kepermukaan dan semakin menarik minat para pemburu berita untuk memburu beritanya. Meroketnya Eyang Subur ke permukaan ketika Adi Bing Slamet dan sejumlah korban dari Eyang Subur menyatakan kesaksian seputar ajaran sesat dan berbagai perlakuan merugikan dari Eyang Subur kepada pengikutnya.

Di dunia keartisan tanah air, ada beberapa pengakuan, Dorce Gamalama misalnya “Saya anggap Eyang adalah orangtua, saya datang ke eyang hanya silahturahmi saja tidak ada maksud lain. Saya tidak pernah menganggap Eyang Subur itu sebagai guru saya. Eyang memang waktu itu saya lihat punya kharisma,” tutur artis serbabisa itu. Berbeda dengan penuturan Adi Bing Slamet, yang katanya Eyang Subur telah mengajarkan ajaran sesat tentang ilmu perdukunan kepadanya. Permasalahan tersebut kabarnya akan dibawa Adi ke Majelis Ulama Indonesia (MUI). Alasannya, Adi menilai Eyang Subur sering mengajarkan hal-hal yang bertolak belakang dengan ajaran agama Islam.

Terkait konflik tersebut, pemerintah tidak lepas tangan atas perseteruan yang menghebohkan masyarakat tanah air. Hal inilah yang mendorong para
anggota dewan untuk studi ke Eropa guna membahas rancangan Undang-Undang yang terkait dengan dunia perdukunan. Namun rancangan undang-undang yang masih dalam rencana pemerintah ini belum bisa terealisasikan.

Pasal Perdukunan
Inilah Bunyi Pasal 293 Yang Mengatur Ilmu Perdukunan di RUU KUHP - Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang tengah  digodok Dewan Perwakilan Rakyat ternyata mengandung unsur  santet  Dalam rancangan undang-undang yang diajukan pemerintah tersebut, pasal 293 mengatur penggunaan ilmu hitam ini. Berikut ini bunyi Pasal 293 tersebut:
(1). Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.  (2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya dapat ditambah dengan 1/3
(satu per tiga). Dari sekian rumitnya masalah RUU dan perdukunan yang menjadi perbincangan banyak orang ini menimbulkan berbagai tanggapan dari berbagai kalangan di masyarakat kita. Ada yang berpendapat hal itu hanya sebagai sensasi belaka. Menurut penulis adanya RUU PERDUKUNAN tersebut tidak efefktif untuk memecahkan kasus tersebut karena praktek perdukunan bersifat gaib. Sedangkan hukum sendiri bersifat fakta dan bisa dibuktikan secara ilmiah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar