Oleh: Taofiq Arrohman
Semua orang ramai
membicarakan manusia dari Tanjung Duren, Jakarta Barat “Eyang Subur” yang katanya
memiliki ilmu gaib yang tinggi. Kasus Eyang Subur dan Adi Bing Slamet semakin
melambung kepermukaan dan semakin menarik minat para pemburu berita untuk
memburu beritanya. Meroketnya Eyang Subur ke permukaan ketika Adi Bing Slamet
dan sejumlah korban dari Eyang Subur menyatakan kesaksian seputar ajaran sesat
dan berbagai perlakuan merugikan dari Eyang Subur kepada pengikutnya.
Di dunia keartisan tanah
air, ada beberapa pengakuan, Dorce Gamalama misalnya “Saya anggap Eyang adalah
orangtua, saya datang ke eyang hanya silahturahmi saja tidak ada maksud lain.
Saya tidak pernah menganggap Eyang Subur itu sebagai guru saya. Eyang memang
waktu itu saya lihat punya kharisma,” tutur artis serbabisa itu. Berbeda dengan
penuturan Adi Bing Slamet, yang katanya Eyang Subur telah mengajarkan ajaran
sesat tentang ilmu perdukunan kepadanya. Permasalahan tersebut kabarnya akan
dibawa Adi ke Majelis Ulama Indonesia (MUI). Alasannya, Adi menilai Eyang Subur
sering mengajarkan hal-hal yang bertolak belakang dengan ajaran agama Islam.
Terkait konflik tersebut,
pemerintah tidak lepas tangan atas perseteruan yang menghebohkan masyarakat
tanah air. Hal inilah yang mendorong para
anggota dewan untuk studi
ke Eropa guna membahas rancangan Undang-Undang yang terkait dengan dunia
perdukunan. Namun rancangan undang-undang yang masih dalam rencana pemerintah
ini belum bisa terealisasikan.
Pasal Perdukunan
Inilah Bunyi Pasal 293 Yang
Mengatur Ilmu Perdukunan di RUU KUHP - Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) yang tengah digodok Dewan
Perwakilan Rakyat ternyata mengandung unsur santet Dalam rancangan undang-undang yang diajukan
pemerintah tersebut, pasal 293 mengatur penggunaan ilmu hitam ini. Berikut ini
bunyi Pasal 293 tersebut:
(1). Setiap orang yang
menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan harapan, menawarkan,
atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat
menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak kategori IV. (2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana
dimaksudkan pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan
atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya dapat
ditambah dengan 1/3
(satu per tiga). Dari
sekian rumitnya masalah RUU dan perdukunan yang menjadi perbincangan banyak
orang ini menimbulkan berbagai tanggapan dari berbagai kalangan di masyarakat
kita. Ada yang berpendapat hal itu hanya sebagai sensasi belaka. Menurut
penulis adanya RUU PERDUKUNAN tersebut tidak efefktif untuk memecahkan kasus
tersebut karena praktek perdukunan bersifat gaib. Sedangkan hukum sendiri
bersifat fakta dan bisa dibuktikan secara ilmiah.