TUTUR
BAHASA DAN USIA DALAM PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA
Deni Tri Eko Mukti
Artikel
ini akan membahas bahasa dan usia pada penggunaan bahasa Indonesia. Bahasa
memiliki peran penting bagi kehidupan bermasyarakat
sebagai alat interaksi. Usia merupakan salah satu rintangan sosial yang
membedakan kelompok-kelompok manusia. Kelompok manusia ini akan memungkinkan
timbulnya dialek sosial yang akan memberikan corak tersendiri pada kelompok
itu. Perbedaan bahasa akan tampak pada kelompok usia tertentu, anak-anak,
remaja, dewasa. Tentu saja batas usia tidak dapat kita pastikan.
Kata
kunci: Bahasa dan Usia, Tutur Anak-anak, Tutur Remaja, Bahasa Prokem
Pendahuluan
Bahasa memiliki peran
penting bagi kehidupan bermasyarakat sebagai alatkomunikasi. Bahasa adalah
sebuah sistem, artinya bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola
secara tetap, dan dapat dikaidahkan. Ciri dari hakikat bahasa bahwa bahasa
itu adalah sistem lambang, berupa bunyi, bersifat arbitrer, produktif, dinamis,
beragam, dan manusiawi. Sistematis maksudnya, bahasa itu tersusun menurut suatu
pola tertentu, tidak tersusun secara acak atau sembarangan. Usia merupakan
salah satu rintangan sosial yang membedakan kelompok-kelompok manusia. Kelompok
manusia ini akan memungkinkan timbulnya dialek sosial yang akan memberikan
corak tersendiri pada kelompok itu. Perbedaan bahasa akan tampak pada kelompok
usia tertentu, anak-anak, remaja, dewasa. Tentu saja batas usia tidak dapat
kita pastikan.
Suatu hal yang dapat
membedakan dialek sosial jenis ini dengan lainnya adalah dialek sosial kelas
buruh, atau dialek regional. Pada dialek tersebut kita mendapat ciri-ciri
kebahsaan yang relatif tetap pada penutur. Misal orang yang berbahasa B1 dialek
Jawa akan selamanya membawa ciri dialek tersebut. Orang Batak akan membawa ciri
kebahsaan dalam penggunaan bahasa Indonesia sampai tua. Dialek sosial
berdasarkan usia keadaannya perbeda. Ragam tutur anak-anak akan ditinggalkan
jika usia anak semakin bertambah dewasa. Ragam tutur remaja akan ditinggalkan
pemiliknya jika mereka menjadi tua. Ragam bahasa yang relatif adalah ragam
tutur orang dewasa.
Oleh sebab itu, usia
penutur berpengaruh terhadap kebahasaan yang di komunikasikan. Bahasa yang
dikomunikasikan oleh anak-anak biasanya adalah bahasa ibu (B1). Berbeda dengan
penutur remaja yakni akan dipengaruhi bahasa Prokem (bahasa gaul). Tutur orang
dewasa berbeda juga dengan tutur anak-anak dan remaja, biasanya oranmg dewasa
cenderung menggunakan bahasa kedua B1, tergantung kepada siapa dan dimana ia
berbicara.
Pembahasan
Kebahasaan
manusia dimulai sejak dalam kandungan ibunya. Tutur manusia dipengaruhi oleh
perilaku orang tuanya. Pengaruh usia pada penggunaan bahasa sangat tampak.
Tutur anak-anak biasanya menggunakan bahasa apa saja yang mereka dengar dari
keluarganya. Anak mulai belajar berbicara pada usia kurang lebih 1,5 tahun dan
usia kurang lebih tiga setengah tahun si anak boleh dikatakan sudah pandai
berbahasa yakni menguasai bahasa ibunya. Sehingga mereka dapat berkomunikasi
dengan orang dewasa secara sempurna. Pada masa awal perkembangan bahasa
anak-anak itu mempunyai ciri adanya penyusutan (reduksi). Ciri bahasa anak-anak biasanya ceplas-ceplos dan apa adanya. Sehingga terkadang membuat orang
dewasa tertawa dengan kepolosannya.
Meskipun
tutur anak-anak mengalami penyusutan masih bisa dipahami oleh orang dewasa.
Karena pengaruh fungtor (kata-kata
yang disusutkan atau dihilangkan) tidak mempengaruhi dan mengurangi makna suatu
kalimat. Misal seorang anak bernama Deni mengatakan “minum gelas”, yang dimaksud
adalah “Deni (saya) minum di gelas”, ya kira-kira seperti itu. Hilangnya kata
ganti (Deni, saya) dan kata depan (di) tidak mengurangi pengertian dan
pemahaman kita terhadap kalimat itu. Tutur anak-anak sebenarnya sitematis dan
teratur, serta tidak membingungkan atau ketidakmampuan anak, melainkan harus
dianggap sebagai suatu strategi untuk berkomunikasi dan menguasai kaidah tata
bahasa berikutnya. Kita dapat mengatakan anak sebenarnya sudah menguasai hubungan
abstrak dalam kalimat dengan cara ini, antara subjek dengan predikat.
Ciri
universal tutur bahasa anak-anak
dapat ditinjau dari segi fonologi. Bahasa anak biasanya lancar menggunakan buyi
bilabial. Karena tutur anak-anak masih menggunkan B1. Bahasa yang digunakan
masih seputar orang atau benda yang biasa mereka lihat. Misal ketika memanggil
ibu emak, Mbok, Ma’e (Jawa).
Bunyi-bunyi bilabial ini bisa kita mengerti, karena bunyi-bunyi inilah yang
paling mudah diucapkan oleh anak-anak dengan menggerakan bibir atas dan bibir
bawah.
Bunyi
atau lafal yang digunakan oleh anak-anak belum begitu sempurna. Khususnya pada
huruf r dan s. Anak-anak akan mengalami kesulitan mengucap dua huruf tersebut
yang disebut cedal. Anak yang usia
kurang tiga tahun, jika mengucap /lali/ untuk /lari/ terkadang mengucap cucu untuk susu. Kosa kata anak-anak
akan berkisar pada yang ada sekarang dan yang ada sekarang. Kosa kata anak-anak
juga mengalami ketidaksempurnaan. Kata-kata yang dimaksud antara lain: mimik ‘minum’, maem ‘makan’, bobok ‘tidur’,
eek ‘buang air besar’, pipis ‘kencing’, pakpung ‘mandi’, titik ‘alat
kelamin’,dan lain-lain.
Semakin
bertambahnya usia bahasa anak-anak akan mengalami perubahan. Karena tutur
anak-anak bersifat sementara. Apalagi usia ketika akan menginjak usia sekolah.
Tutur anak akan diajari oleh ibunya lebih sopan. Masyarakat jawa akan mengajari
anak-anak dengan menggunakan bahasa krama
(bahasa yang sopan) ketika berbicara kepada orang yang lebih tua.
Kalimat-kalimat dengan bahasa yang halus dimulai dengan keadaan yang biasa
dilakukan, seperti akan mandi, makan, pergi dll. Orang tua sebagai pendidik
pertama harus berhati-hati dalam menggunakan bahasa yang diajarkan kepada
anak-anaknya. Orang tua berharap agar anak-anaknya berbicara sopan, karena
menunjukan identitas seorang anak. Jika seorang anak mampu berkata sopan,
dimata masyarakat, si anak dan orang tua akan mendapat pujian dari orang lain.
Jadi ada motivasi untuk memperoleh prestise
(sanjungan) atau penghargaan.
Anak usia 7 tahun
biasanya sudah masuk SD. Anak-anak di sekolah diajarkan ketrampilan berbahasa
khususnya bahasa Indonesia. Melalui proses pembelajaran tersebut anak-anak
memperoleh B2. Proses pembelajaran tersebut akan terjadi kemungkinan. Pertama
jika, anak-anak di Jakarta tidak mengalami kesulitan mendapat pelajran bahasa
Indonesia, meskipun tidak baku. Kedua jika, didaerah Jawa atau Sunda akan
mengalami kesulitan menerima pelajaran bahasa Indonesia, apabila sejak kecil
tidak diajarkan oleh orang tua. Sehingga akan muncul bilingualisme atau kedwibahasaan. Pengaruh B1
dalam pembelajaran B2, pada anak-anak masih dibilang wajar walaupun terjadi
penyimpangan atau kesalahan-kesalahan. Tutur anak-anak terkadang menimbulkan
suatu inovasi. “Misal mereka menciptakan sarapan
siang di samping ada sarapan pagi. Orang
akan segera mengatakan kedua bentuk itu salah, karena sarapan mesti pagi, dan karena sarapan
pagi adalah “mubadzir” dan sarapan siang seharusnya tidak ada.
Ternyata kedua istilah itu muncul karena mereka mempunyai pengalaman khusus.
Mereka pernah masuk siang hari. Makan sebelum berangkat sekolah, bagi meraka
adalah sarapan. Jika mereka masuk pagi, mereka menyebutnya sarapan pagi dan kalau masuk
siang, mereka menyebutnya sarapan siang. Jadi , “kesalahan” yang mereka buat itu
benar-bemar mereka sadari, mereka ciptakan, dan masuk akal, karena kepolosan
mereka.
Tutur remaja, ditinjau
dari segi perkembangan zaman. Masa remaja mempunyai ciri antara lain petualangan,
genk (kelompok kecil), “kenakalan”.
Ciri ini berpengaruh dengan kebahasaan mereka. Sehingga tercipta bahasa rahasia
setiap kelompok-kelompok mereka. Berikut salah satu contoh bentuk bahasa yang
ada di Indonesia.
Membolak balikan fonem dalam kata. Bahasa
rahsia yang unik dikalangan remaja kota Malang. Kata-kata “dibaca” menurut
urutan fonem dari belakang, dibaca terbalik.
Contoh: Singo Edan menjadi Onges Nade
Malang menjadi Ngalam
Tidak menjadi kadit, dsb
Di samping itu ada penciptaan kata-kata
khusus, misalnya:
Semeh “Ibu”
Sebeh “Bapak”
Kupu-kupu
malam “Pelacur”
dsb.
Salah
satu tutur remaja yang khas, dan muncul di Jakarta adalah bahasa prokem. Bahasa prokem pernah diangkat oleh Lita Pamela Kawira pada seminar
Sosiolinguistik II di Jakarta, Desember 1988. Bahkan sebelumnya sudah terbit Kamus Bahasa Prokem oleh Prathama Rahardja dan Henri Chambert Loir
(1988). Meskipun bahasa prokem bisa
dikatakan menjadi milik remaja Jakarta penciptanya adalah kaum pencoleng,
bandit dan semacamnya. Rumus pembentukan bahasa prokem tu “sebagian” memakai
penyisipan –ok- di tengah kata yang sudah disusutkan, dan ini mirip dengan apa
yang kita sudah kenal pada bahasa rahasia kaum waria dan gay di Surabaya serta
tutur remaja di Malang. Misal: kata bencong
untuk banci, bokap untuk bapak/ayah, nyokap – Ibu, ngokum – ngumpet, cius – serius,
eike – saya, amsyong- celaka, tikus –
polisi dsb.
Bahasa-bahasa
yang sering muncul di kalangan remaja adalah bahasa yang simpel. Salah satu
ciri bahasa remaja adalah kreatif dan hanya diketahui oleh para remaja. Ragam
bahasa tersebut tidak bisa dilihat dari segi linguistik namun dari segi
sosialnya. Kemunculan kata-kata baru itu dilihat dari segi kebahasaan menambah
kekayaan bahasa untuk kalangan remaja. Akhir-akhir ini sering muncul kata galau, cius, miyapa, kamsupay dll. Dari
segi sosiolinguistik gejala bahasa semacam ini berkaitan dengan kelompok sosial
tertentu dalam masyarakat kita. Sesuai dengan dunia remaja yang penuh tuntutan
dan iklim cinta kasih dan hubungan intim, maka karya satra banyak mengarah
kesana. Banyak hal yang bisa kita simak mengenai bahasa yang digunakan oleh
para remaja. Bahasa remaja kemudian kita kaitkan dengan ciri-ciri psikologis
remaja. Bahasa juga cermin kelompok mereka. Menurut saya wajar-wajar saja para
remaja menggunakan bahasa prokem.
Pada intinya bahasa prokem digunakan hanya pada kalangan remaja. Ketika masuk
dalah ranah ragam formal bahasa-bahasa tersebut jarang digunakan. Bahasa yang
digunakan ragam formal adalah bahasa baku. Jadi dengan adanya bahasa prokem
kedudukan bahasa Indonesia tidak tergeser. Kita perlu menyadari terkadang dalam
ranah penggunaan ragam formal, kita masih terinterferensi dan terintegrasi oleh
bahasa daerah. Interferensi dianggap sebagai gejala tutur (parole, speech) terjadi hanya pada dwibahasawan dan peristiwanya
dianggap penyimpangan. Integrasi cenderung sebagai gejala bahasa (language, langue) dapat terjadi pada setiap
anggota masyarakat dan peristiwanya bukan lagi sebagai penyimpangan karena
sudah menyatu dan diterima oleh masyarakat.
Penelitian
di Indonesia, melihat dari beberapa makalah di media. Banyak pertemuan
kebahasaan yang muncul menggurui. Bagaimana seharusnya orang berbahasa atau
bersikap dan bagimana bahasa itu disikapi oleh kelompok atau individu. Contoh artikel dari Yahya dan Sugiarto. Yahya
berbicara tentang kebahasaan orang tua dan pengaruhnya terhadap pembinaan
bahasa Indonesia dalam lingkungan keluarga. “Bahasa Indonesia harus diajarkan
dimulai dari keluarga”. Sugiarto berbicara tentang orientasi generasi muda
terhadap pemakaian bahasa Indonesia. Dia menganjurkan agar wawasan kebahasaan
generasi muda itu merujuk kepada empat hal , yaitu 1). Penguasaan terhadap
penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, 2). Membina kemampuan
berpikir, 3). Menumbuhkan sikap positif terhadap kaidah bahasa Indonesia, dan
4). Adanya keinginan dan gairah untuk meningkatkan mutu penggunaan bahasa dalam
aspek kehidupan.
Penelitian
yang dilakukan oleh Yayah dengan metode kusioner untuk pengumpulan data menarik
koresponden. Hasil yang ditemukan Yayah adalah 1). Guru-guru pada umumnya
mempunyai sikap positif terhadap bahasa Indonesia, tetapi dilihat dari segi
usia, guru-guru yang berusia lebih dari 30 tahun lebih positif dibanding
guru-guru yang berusia dibawah 30 tahun, 2). Murid yang berusia diatas 20 tahun
lebih positif terhadap bahasa Indonesia dibanding murid-murid berusia dibawah
20 tahun, murid-murid didalam kelas yang lebih muda tidak semuanya menggunakan
bahasa Indonesia.
Simpulan
Bahasa
memiliki peran penting bagi kehidupan bermasyarakat sebagai alatkomunikasi.
Usia ternyata berpengaruh dalam kebahasaan seseorang dari anak-anak, remaja
hingga dewasa. Bisa dikatakan seseorang yang usianya lebih tua akan positif
menggunakan bahasa Indonesia dibanding seseorang yang berusia muda.
Akan
tetapi bisa saja seseorang yang lebih muda tidak kalah positif terhadap bahasa
Indonesia dengan seseorang yang berusia tua. Jika dari keluarga sudah diajarkan
bahasa Indonesia yang baik dan benar. Selain di keluarga belajar di pendidikan
formal sangat perlu untuk lebih positif menggunakan bahasa Indonesia.
Daftar
Pustaka
Aslida
dan Syafyahya. 2014. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: Refika Aditama
Chaer,
Abdul. 2007. Linguistik
Umum. Jakarta: Rineka Cipta
Rohmadi,
M. Dkk. 2012. Morfologi.
Surakarta: Yuma Pustaka
Sumarsono.
2013. Sosiolinguistik. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar