Pengaruh
Kedwibahasaan dan Diglosia pada Perkembangan Bahasa Indonesia
Nur Kaesi
Sari
Bahasa adalah alat
komunikasi yang sangat penting bagi semua orang. Bagi bangsa Indonesia bahasa
Indonesia tidak hanya merupakan alat komunikasi untuk berkomunikasi antara satu
orang dengan orang lain, namun juga sebagai alat pemersatu bangsa. Bilingualismec
di Indonesia tidak hanya terjadi antara bahasa Indonesia dengan bahasa asing,
namun juga antara bahasa Indonesia dengan bahasa daerah yang terdapat disuatu
wilayah. Semakin populernya bahasa asing terutama bahasa Inggris dirasa semakin
memudarkan kecintaan masyarakat Indonesia terhadap bahasa Indonesia. Sebagian
masyarakat lebih memilih menggunakan bahasa Asing atau bahasa gaul dibanding
bahasa Indonesia dikarenakan mereka lebih merasa lebih keren dan lebih waaw.
Kata kunci: Bahasa, Bahasa Indonesia,
kedwibahasaan, Diglosia
PENDAHULUAN
Bahasa adalah sebuah
sistem, artinya bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara
tetap, dan dapat dikaidahkan. Ciri dari hakikat bahasa adalah, bahwa
bahasa itu adalah sistem lambang, berupa bunyi, bersifat arbitrer, produktif,
dinamis, beragam, dan manusiawi. Dengan sistematis maksudnya, bahasa itu
tersusun menurut suatu pola tertentu, tidak tersusun secara acak atau
sembarangan.
Sistem bahasa yang
digunakan berupa lambang-lambang dalam bentuk bunyi. Setiap lambang bahasa
menggunakan lambang bahasa yang berbunyi [kuda], melambangkan konsep atau
makna. Dalam bahasa Indonesia satuan bunyi [air], [kuda], dan [meja] adalah
lambang ujaran karena memiliki makna, tetapi bunyi-bumyi [rai], [akud], [ajem]
bukanlah lambang ujaran karena tidak memiliki makna. Lambang bahasa itu
bersifat arbiter, artinya hubungan antara lambang dengan yang dilambangkannya,
tidak bersifat wajib, bisa berubah, dan tidak dapat dijelaskan mengapa lambang
itu mengonsepi makna tertentu.
Secara harfiah sudah
dapat dipahami apa yang dimaksud kedwibahsaan itu, yakni kebiasaan menggunakan
dua bahasa atau lebih secara bergantian. (Weinreich, 1953:1). Kedwibahsaan
terjadi karena adanya kontak bahasa antara dua kelompok bahasa yang berbeda,
dalam kemasyarakatan, dan dalam semua kelompok usia. Oleh karena itu, sekarang
ini menemukan masyarakat yang benar-benar monolingual karena tidak ada kelompok
bahasa yang terpisah dari kelompok bahasa yang lain (Grosjean, 1982: 1).
Pengertian kedwibahsaan antara satu ahli dengan yang lain masih memiliki
kekurangan di sana-sini. Oleh karena itu menurut Grosjean tidak ada definisi
kedwibahsaan yang dapat diterima secara umum.Mackey (1962: 12) mengatakan
dengan tegas bahwa bilingualisme adalah praktik penggunaan bahasa dengan
bergantian, dari bahasa satu ke bahasa lain oleh seorang penutur, menurutnya,
penguasaan kedua bahasa tersebut harus sama tingkatnya. Pernyataannya hampir
mirip dengan yang dikatakan oleh Weinreich (1986: 1) bahwa praktik pemakaian
dua bahasa berganti-ganti disebut dengan bilingualisme, sedangkan orang-orang
yang memakainya disebut dengan bilingual.
Dari pernyataan
tersebut dapat ditangkap bahwa tidak mudah mendefinisikan konsep kedwibahsaan.
Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa masih ada kekurangan di sana-sini.
Kedwibahsaan pada intinya harus dapat menjelaskan keberadaan sekurang-kurangnya
dua bahasa dalam penutur yang sama, dengan mengingat bahwa kemampuan dalam
bahasa ini dapat sama atau tidak, dan bahwa cara bahasa ini dipakai memainkan
peranan penting.
Pembahasan
Bahasa menunjukkan identitas
suatu bangsa. Seperti halnya bangsa lain, bangsa Indonesia juga memiliki jati
diri yang membedakannya dari bangsa yang lain di dunia. Jati diri itu sekaligus
juga menunjukkan keberadaan bangsa Indonesia di antara bangsa lain. Salah satu
simbol jati diri bangsa Indonesia itu adalah bahasa, dalam hal ini tentu
bahasa Indonesia. Hal itu sejalan dengan semboyan yang selama ini kita kenal,
yaitu “bahasa menunjukkan bangsa”.Kalau kita lihat secara cermat, kondisi
kebahasaan di Indonesia saat ini cukup memprihatinkan, terutama penggunaan bahasa
Indonesia di tempat umum mulai tergeser oleh bahasa asing, terutama bahasa
Inggris. Tempat yang seharusnya menggunakan bahasa Indonesia itu banyak yang
menggunakan bahasa tidak lagi menunjukkan jati diri keindonesiaan. Akibatnya,
wajah Indonesia menjadi tampak asing di mata masyarakatnya sendiri. Kondisi seperti
itu harus kita sikapi dengan bijak agar kita tidak menjadi asing di negeri
sendiri. Nilai rasa bahasa Indonesia yang berkurang akibat adanya
pencampuran bahasa seorang penutur yang tidak tepat kapan menggunakan Bahasa
pertama (B1) dan Bahasa kedua (B2).
Kedwibahsaan diartikan
sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulan dengan orang
lain secara bergantian. Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa disebut
orang yang bilingual (dwibahasawan), sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua
bahasa disebut bilingualitas (kedwibahasawanan). Masalah-masalahnya yaitu:
Sejauh mana taraf kemampuan seseorang
akan B2 sehingga dia dapat disebut sebagai seorang yang bilingual?
Kapan seorang bilingual menggunakan kedua
bahasa itu secara bergantian?
Kapan pula di dapat secara bebas untuk
dapat menggunakan B1-nya atau B-2 nya?
Apakah bilingualisme berlaku pada satu
kelompok masyarakat tutur?
Pertanyaan pertama,
seseorang harus dapat menguasai B1 dan B2 dengan derajat yang sama baiknya,
barulah dikatakan bilingual, bukan setengah-setengah yang justru menurunkan
nilai rasa bahasa Indonesia dibandingkan bahasa asing. Sebagai contoh kasus,
kita dapat melihat sikap sebagian masyarakat yang tampaknya merasa lebih hebat,
lebih bergengsi, jika dapat menyelipkan beberapa kata asing dalam berbahasa
Indonesia, padahal kosakata asing yang digunakannya itu ada pada bahasa
Indonesia. Misal, sebagian masyarakat lebih suka menggunakan kata, di-pending, meeting,
dan on the way. Padahal, kita memiliki kata kata ditunda untuk
di-pending, pertemuan atau rapat untuk meeting, dan sedang di
jalan untuk on the way.
Pertanyaan mengenai
kapan kapan seorang penutur bilingual menggunakan satu bahasa tertentu, B1
atau B2, atau satu ragam bahasa tertentu adalah menyangkut masalah fungsi
bahasa atau fungsi ragam bahasa tertentu di dalam masyarakat tutur
sehubungan dengan adanya ranah-ranah penggunaan bahasa atau ragam bahasa
tersebut. Kapan harus digunakan B1 dan kapan pula harus digunakan B2
tergantung pada lawan bicara, topik pembicaraan, dan situasi sosisal
pembicaraan. Jadi penggunaan B1 dan B2 ini tidaklah bebas. Tidak seharusnya
kita membiarkan bahasa Indonesia larut dalam arus komunikasi global yang
menggunakan media bahasa asing seperti itu. Jika hal seperti itu kita biarkan,
tidak tertutup kemungkinan jati diri keindonesiaan kita sebagai suatu bangsapun
akan pudar, bahkan terancam larut dalam arus budaya asing. Jika hal itu
terjadi, jangankan berperan di tengah kehidupan global, menunjukkan jati diri
keindonesiaan kita sebagai suatu bangsa pun kita tidak mampu. Kondisi seperti
itu tentu tidak akan kita biarkan terjadi. Oleh karena itu, diperlukan berbagai
upaya agar jati diri bangsa kita tetap hidup di antara bangsa lain di dunia.
Dalam konteks kehidupan global seperti itu, bahasa Indonesia sesungguhnya
selain merupakan jati diri bangsa, sekaligus juga merupakan simbol kedaulatan
bangsa.
Pertanyaan ketiga
mengenai kedwibahsaan berlaku pada satu kelompok masyarakat
tutur menyangkut hakikat bahasa dalam kaitannya dengan penggunaannya di dalam
masyarakat tutur. kedwibahsaan bukan gejala bahasa, meliankan sifat penggunaan
bahasa yang dilakukan penutur bilingual secara berganti-ganti. Setiap bahasa di
dalam masyarakat bilingual itu tidak dapat secara bebas digunakan, melainkan
harus diperhatikan fungsinya masing-masing. Jika sebagai suatu bangsa,
salah satu simbol jati diri kita adalah bahasa dan sastra Indonesia; sebagai
anggota suatu komunitas etnis di Indonesia, simbol jati diri kita adalah bahasa
dan sastra daerah. Oleh karena itu, sebagai suatu simbol jati diri kedaerahan,
bahasa dan sastra daerah juga harus kita jaga dan kita pelihara untuk
menunjukkan jati diri dan kebanggaan kita sebagai anggota masyarakat daerah.
Sebagai simbol jati
diri bangsa, bahasa Indonesia harus terus dikembangkan di era modern. Di
samping itu, mutu penggunaannya pun harus terus ditingkatkan agar bahasa
Indonesia dapat menjadi sarana komunikasi yang efektif dan efisien untuk
berbagai keperluan. Upaya ke arah itu kini telah memperoleh landasan hukum yang
kuat, yakni diikrarkan dalam Sumpah Pemuda, tanggal 28 Oktober 1928, yakni
menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia. Setiap bahasa pada dasarnya
merupakan simbol jati diri penuturnya, begitu pula halnya dengan bahasa
Indonesia juga merupakan simbol jati diri bangsa. Oleh karena itu, bahasa
Indonesia harus senantiasa kita jaga, kita lestarikan, dan secara terus-menerus
harus kita bina dan kita kembangkan agar tetap dapat memenuhi fungsinya sebagai
sarana komunikasi modern yang mampu membedakan bangsa kita dari bangsa-bangsa
lain di dunia. Untuk memperkuat jati diri itu, baik yang lokal maupun nasional,
diperlukan peran serta berbagai pihak dan dukungan aturan serta sumber daya
yang memadai. Peran serta masyarakat juga sangat diperlukan dalam memperkuat
jati diri bangsa itu.
Sebagai contoh, siswa
yang mengikuti lomba tingkat internasional tidak bisa banyak berkata menjawab
soal. Bukan karena mereka tak kompeten dalam bidangnya, namun karena penguasaan
bahasa Inggris yang minim. Tentu saja kondisi ini amat disayangkan.Kondisi
seperti ini tentunya jangan sampai terjadi lagi. Seperti halnya bahasa
Indonesia yang mempersatukan ratusan etnis di kepulauan nusantara, begitu pula
bahasa Inggris yang mempersatukan ratusan negara di dunia. Dunia sudah masuk ke
lingkungan pergaulan global. Jadi tidak ada salahnya bangsa Indonesia
menggalakkan pemakaian bahasa Inggris, karena menutup diri berarti menghalangi
kemajuan bangsa kita sendiri.Lalu bila kita belajar dan menggalakkan pemakaian
bahasa Inggris, apakah kita jadi tidak mencintai bahasa Indonesia?
Berkenaan dengan hal
itu, yang terpenting adalah bahwa bila kita ingin melestarikan bahasa Indonesia
kita harus ‘memampukan’ pengguna bahasanya. Jangan sampai upaya untuk
melestarikan bahasa Indonesia justru ‘mengerdilkan’ pengguna bahasa itu
sendiri. Bahasa tidak akan berkembang tanpa dukungan dari pengguna bahasa itu,
dan sebaliknya pengguna bahasa itu juga takkan dapat berbuat banyak bila mereka
ada dalam keadaan terpinggirkan.
Mackey (dalam Chaedar
dan Agustina 2004:84) mengelompokkan empat aspek untuk mempermudah pembicaraan
mengenai bilingual, yaitu sebagai berikut :
Tingkat kemampuan
Kemampuan berbahasa akan nampak pada
empat keterampilan, yaitu menyimak, membaca, berbicara, dan menulis. Keempat
keterampilan ini mencakup level fonologi, gramatik, leksis, semantic,dan
stylistic.
Fungsi
Tingkat kefasihan berbahasa tergantung
pada fungsi atau pemakaian bahasa itu. Dapat dikatakan bahwa semakin sering
bahasa itu dipakai, semakin fasihlah penuturnya. Adapun factor yang
mempengaruhi yaitu factor internal dan eksternal.
Faktor internal mencakup antara lain :
Pemakain internal seperti menghitung,
perkiraan, berdoa, menyumpah,mimpi,menulis catatan harian, dan mencatat
Interfensi ( interference)
Interfensi adalah
kekeliruan yang disebabkan terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa atau
dialeg ibu kedalam bahasa dialeg kedua. Interfensi bias terjadi pada
pengucapan, tata bahasa, kosa kata dan makna bahkan budaya. Diskripsi
interfensi dengan demikian bersifat individual, jadi bersifat idiosinkrasi dan
parole penutur.Alwasilah menambahkan dua aspek lainnya, yaitu:
Pergeseran bahasa (Language shift)
Bila suatu kelompok
baru dating ke tempat lain dan bercampur dengan kelompok setempat maka akan
terjadilah pergeseran bahasa ( language shift)
Konvergensi ( convergence) dan
Indonesianisasi
Konvergensi adalah kegiatan bertemu dan
terutama bergerak menuju kesatuan dan keseragaman.
Kedwibahasaan yang ada di Indonesia,
yaitu :
Bahasa daerah dan bahasa Indonesia
Kedwibahasaan di Indonesia (bahasa
Daerah dan bahasa Indonesia).
Penggunaan kedwibahasaan ini dapat
terjadi karena:
Dalam sumpah pemuda tahun 1928
menggunakan bahasa Indonesia (pada waktu itu disebut Maleis)dikaitkan dengan perjuangan
kemerdekaan dan nasionalisme.
Bahasa – bahasa daerah mempunyai tempat
yang wajar disamping pembinaan dan pengembangan bahasa dan kebudayaan
Indonesia.
Perkawinan campur antar suku. Perpindahan
penduduk dari satu daerah ke daerah lain disebabkan urbanisasi, transmigrasi,
mutasi karyawan atau pegawai, dan sebagainya.Interaksi antar suku: yakni dalam
perdagangan, sosialisasi dan urusan kantor atau sekolah.
Motivasi yang banyak
didorong oleh kepentingan profesi dan kepentingan hidup.Namun, sering para
penutur bahasa daerah yang juga penutur bahasa Indonesia menggunakan bahasa
daerahnya yang bersifat informal disebabkan oleh beberapa factor antara lain:
Pada upacara adat yang mengharuskan
penggunaan bahasa daerah akan lebih mengesankan dan lebih sesuai dengan suasana
yang diharapkan.
Untuk menciptakan suasana khas;
umpamanya, antara anggota- anggota keluarga, teman akrab dan sebagaianya.Untuk
kepentingan sastra dan menikmati budaya.
Simpulan
Kondisi kebahasaan di
Indonesia saat ini cukup memprihatinkan, terutama penggunaan bahasa Indonesia
di tempat umum, seperti pada nama bangunan, pusat perbelanjaan, hotel dan
restoran, serta kompleks perumahan, sudah mulai tergeser oleh bahasa asing,
terutama bahasa Inggris. Tempat yang seharusnya menggunakan bahasa Indonesia
itu mulai banyak yang menggunakan bahasa yang tidak lagi menunjukkan jati diri
keindonesiaan. Akibatnya, wajah Indonesia menjadi tampak asing di mata
masyarakatnya sendiri.
Bilingualisme diartikan sebagai
penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain
secara bergantian. Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa disebut orang
yang bilingual (dwibahasawan), sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa
disebut bilingualitas (kedwibahasawanan). Masalah-masalahnya yaitu:
Sejauh mana taraf kemampuan seseorang
akan B2 sehingga dia dapat disebut sebagai seorang yang bilingual?
Kapan seorang bilingual menggunakan
kedua bahasa itu secara bergantian? Kapan pula di dapat secara bebas untuk
dapat menggunakan B1-nya atau B-2 nya?
Daftar
Pustaka
Chaer, Abdul dan Agustina.1995. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal.
Jakarta: Rineka Cipta
Aslinda dan Syafyahya, L.2014. Pengantar Sosiolinguitik. Bandung: PT.
Refika Aditama
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineke Cipta