Menurut teori yang
dikembangkan dari pandangan Ferdinand de Saussure, makna adalah ’pengertian’
atau ’konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda-linguistik. Menurut
de Saussure, setiap tanda linguistik terdiri dari dua unsur, yaitu (1) yang diartikan
(Perancis: signifie, Inggris: signified) dan (2) yang mengartikan
(Perancis: signifiant, Inggris: signifier). Yang diartikan (signifie,
signified) sebenarnya tidak lain dari pada konsep atau makna dari
sesuatu tanda-bunyi. Sedangkan yang mengartikan (signifiant atau signifier)
adalah bunyi-bunyi yang terbentuk dari fonem-fonem bahasa yang bersangkutan.
Dengan kata lain, setiap tanda-linguistik terdiri dari unsur bunyi dan unsur
makna. Kedua unsur ini adalah unsur dalam-bahasa (intralingual) yang
biasanya merujuk atau mengacu kepada sesuatu referen yang merupakan unsur luar-bahasa
(ekstralingual).
Dalam bidang semantik
istilah yang biasa digunakan untuk tanda-linguistik itu adalah leksem, yang
lazim didefinisikan sebagai kata atau frase yang merupakan satuan bermakna
(Harimurti, 1982:98). Sedangkan istilah kata,yang lazim didefinisikan sebagai
satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri yang dapat terjadi dari morfem tunggal
atau gabungan morfem (Harimurti, 1982:76) adalah istilah dalam bidang
gramatika. Dalam makalah ini kedua istilah itu dianggap memiliki pengertian
yang sama.
Yang perlu
dipahami adalah tidak semua kata atau leksem itu mempunyai acuan konkret di
dunia nyata. Misalnya leksem seperti agama, cinta, kebudayaan, dan
keadilan tidak dapat ditampilkan referennya secara konkret. Di dalam
penggunaannya dalam pertuturan, yang nyata makna kata atau leksem itu
seringkali, dan mungkin juga biasanya, terlepas dari pengertian atau konsep
dasarnya dan juga dari acuannya. Misal kata buaya dalam kalimat (1).
(1). Dasar buaya,
ibunya sendiri ditipunya.
Oleh karena itu, kita
baru dapat menentukan makna sebuah kata apabila kata itu sudah berada dalam
konteks kalimatnya. Makna sebuah kalimat baru dapat ditentukan apabila kalimat
itu berada di dalam konteks wacananya atau konteks situasinya. Contoh, seorang
setelah memeriksa buku rapor anaknya dan melihat angka-angka dalam buku rapor
itu banyak yang merah, berkata kepada anaknya dengan nada memuji.
(2). ”Rapormu bagus
sekali, Nak!”
Jelas, dia tidak
bermaksud memuji walaupun nadanya memuji. Dengan kalimat itu dia sebenarnya
bermaksud menegur tau mungkin mengejek anaknya itu.
2.
Aspek Makna
Makna adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
semantik selalu saja melekat dari apa saja yang kita tuturkan. ada pendapat para
ahli yaitu Mansoer Pateda mengemukakan istilah makna merupakan kata-kata yang
membinggungkan. makna tersebut selalu menyatu pada tuturan kata maupun kalimat.
menurut ulman bahwa makna adalah hubungan antara makan dengan pengertian
Dalam kanus linguistik pengertian makna dijabarkan menjadi:
1. maksud pembicara
Dalam kanus linguistik pengertian makna dijabarkan menjadi:
1. maksud pembicara
2. pengaruh penerapan bahasa
3. hubungan dalam arti kesepadanan atau tidak kesepadanan
4. cara menggunakan lambang-lambang bahasa.
4. cara menggunakan lambang-lambang bahasa.
Aspek-aspek makna dalam semantik menurut Mansoer Pateda ada empat hal yaitu
1.
Pengertian
pengertian
disebut juga dengan tema. pengertian ini dapat dicaapai apabila pembica dengan
lawan bicara atau antara penulis dengan pembaca mempunyai kesamaan bahasa yang
digunakan atau disepakati brsama. Lyons (dalam Mansoer Pateda, 2001:92)
mengemukakan bahwa pengertian adalah sistem hubungan-hubungan yang berbeda
dengan kata lain didalam kosakata.
contoh:
a. celana ini pendek.
a. celana ini pendek.
b. celana
ini tidak pendek.
Kalimat (a) dan
(b) memiliki satu pengertian, meskipun kata pendek diganti dengan ukuran kata
tidak panjang.
2.
Nilai
Rasa (feeling)
Aspek makna yang berhubungan dengan nilai rasa berkaitan dengan sikap
pembicara terhadap hal yang dibicarakan. jadi setiap kata mempunyai makna yang
berhubungan dengan nilai rasa dan setiap kata mempunyai makna yang berhubungan
dengan perasaan.
contoh:
"saya akan pergi "(menunjuk pada dorongan) "engkau malas"(menunjukan pada penilain) kata-kata: saya, pergi, malas, mempunyai nilai rasa.
"saya akan pergi "(menunjuk pada dorongan) "engkau malas"(menunjukan pada penilain) kata-kata: saya, pergi, malas, mempunyai nilai rasa.
3.
Nada
(tone)
Aspek makna nada menurut Shipley adalah sikap pembicar terhadap kawan
bicara. dengan kata lain, hubungan antara pembicara dengan pendengar akan
menemukan sikap tercermin dalam kata-kata yang digunakan.
contoh:
"pulang " (kata ini bahwa pembicara jengkel atau dalam suasana tidak ramah).
"pulang ?"(kata ini menunjukan bahwa pembicara menyidir).
contoh:
"pulang " (kata ini bahwa pembicara jengkel atau dalam suasana tidak ramah).
"pulang ?"(kata ini menunjukan bahwa pembicara menyidir).
4.
Maksud
(intention)
Aspek maksud menurut
Shipley merupakan maksud senang atau tidak senang, efek usaha keras yang
dilaksanakan. maksud yang diinginkan dapat bersifat deklarasi, imperatif,
narasi, pedagogis, persuasi, rekreasi atau politik.
contoh:
orang berkata"Hai akan hujan". pembicara bermaksud:
orang berkata"Hai akan hujan". pembicara bermaksud:
a. cepat-cepat
pergi.
b. bawa payung.
c, tunda dulu keberangkatan.
3.
Medan dan Komponen Makna
Medan Makna
Kata-kata
yang berada dalam satu kelompok lazim dinamai kata-kata yang berada dalam satu
medan makna atau satu medan leksikal, yang dimaksud dengan medan makna
(semantic domain, semantic field) atau medan leksikal adalah seperangkat unsur
leksikal yang maknanya saling berhubungan karena menggambarkan bagian dari
bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu. Misalnya,
nama-nama warna. Medan makna adalah seperangkat unsur leksikal yang
maknanya saling berhubungan karena menggambarkan bagian dari kebudayaan atau
realitas dalam alam semesta tertentu. Misalnya nama-nama warna dan nama-nama
perkerabatan.
Kata-kata
atau leksem-leksem yang megelompokkan dalam satu medan makna, berdasrkan sifat
hubungan semantisnya dapat di bedakan atas kelompok medan kolokasi dan medan
set kolokasi menunjuk pada hubungan sintagmantik yang terdapat antara kata-kata
atau unsur-unsur leksikal itu.
Kalau
kolokasi menunjuk pada hubungan sintagmantik, karena sifatnya yang linear, maka
kelompok set menunjuk, pada hubungan pradigmatik, karena kata-kata yang berada
dalam satu kelompok set biasanya mempunyai kelas yang sama dan tampaknya
merupakan satu kesatuan. Setiap kata dalam set dibatasi oleh tempatnya dalam
hubungan dengan anggota-anggota lain dalam set itu umpamanya, kata remaja
merupakan tahap perkembangan dari anak-anak menjadi dewasa, sedangkan kata
sejuk merupakan suhu diantara dingin dan hangat, maka kalau kata-kata yang satu
set dengan melihat dan memakan dibagankan adalah menjadi sebagai berikut:
SET
(PARADIGMATIK)
Melihat
|
Memakan
|
Memperhatikan
|
Mengunyah
|
Melototi
|
Menelan
|
Mengintip
|
Melahap
|
Meliri
|
Menghabiskan
|
Pengelompokan kata atas kolokasi dan set ini besar artinya bagi
kita dapat memahami konsep-konsep budaya yang ada dalam satu masyarakat bahasa.
Namun pengelompokan ini sering kurang jelas karena adanya ketumpang tindihan
unsur-unsur leksikal yang di kelompokkan tanpa mempedulikan adanaya nuansa
makna, perbedaan makna denotasi dan konotasi. Misalnya, kata kerja melihat itu
juga memiliki juga makna “memperhatikan”, melihat suatu objek dengan seksama
secara fokus jadi pengelompokan kata atas medan makana ini hanya tertumpu pada
makna dasar, makna denotatif, atau makana pusatnya
saja.
Dalam pembicaraan tentang jenis makna ada juga, yaitu jenis
makna kolokasi. Yang dimaksud di sini adalah makna kata tertentu berkenaan
dengan keterikatan kata tersebut dengan kata yang lain yang merupakan
kolokasinya.
Komponen Makna
Makna yang dimiliki oleh setiap kata itu terdiri dari sejumlah
komponen (yang disebut komponen makna), yang membentuk keseluruhan makna kata
itu. Komponen makna ini dapat dianalisis, dibutiri, atau disebutkan satu per
satu, berdasarkan “pengertian-pengertian” yang dimilikinya.
Komponen Makna
|
Sepeda motor
|
Mobil
|
Sepeda
|
Boot
|
1. alat
transportasi
2. Bensin
3. Roda
4. Mesin
5. Alat
transportasi darat
|
+
+
+
+
+
|
+
+
+
+
+
|
+
-
+
-
+
|
+
+
-
+
-
|
Keterangan : Tanda + mempunyai komponen makna tersebut, dan
tanda – tidak mempunyai komponen makna tersebut.
Konsep analisis dua-dua ini (lazim disebut anlisis biner) oleh
para ahli kemudian diterapkan juga untuk membedakan makna suatu kata dengan
kata lain. Denga juga dapat analisis biner ini kita juga dapat
menggolong-golongkan kata atau unsur leksikal sesuai dengan medan makna.
Ada tiga hal yang perlu dikemukakan sehubungan dengan analisis
biner tersebut.
Pertama, ada pasangan kata yang
satu diantaranya lebih bersifat netral atau umum sedangkan yang lain bersift
khusus. Misalnya, pasangan kata siswa dan siswi. Kata siswa lebih bersifat umum
dan netral karena dapat termasuk “pria” dan “wanita”. Sebaliknya kata siswi
lebih bersift khusus karena hanya mengenai “wanita” saja.
Kedua, ada kata atau
unsur leksikal yang sukar dicari pasanganya karena memang mungkin
tidak ada, tetapi ada juga yang memiliki pasangan lebih dari satu. Contoh yang
sukar dicari pasanganya adalah kata-kata yang berkenaan dengan nama warna.
Contoh kedua yaitu contoh yang pasanganya lebih dari satu, yaitu berdiri
misalnya. Kata berdiri bukan hanya bisa dipertentangkan dengan kata tidur,
tetapi bisa saja dengan kata tiarap, rebah, duduk, jongkok dan berbaring.
Ketiga, kita sering kali sukar
mengatur ciri-ciri semantic itu secara bertingkat, mana yang lebih bersifat
umum, dan mana yang lebih bersifat khusus. Contohnya, ciri jantan dan dewasa,
mana yang lebih bersifat umum antara jantan dan dewasa. Bisa jantan, tetapi
bisa juga dewasa sebab tidak ada alas an bagi kita untuk menyebutkan cirri
jantan lebih bersifat umum daripada dewasa, begitu juga sebaliknya, karena ciri
yang satu tidak menyiratkan makna yang lain.
Di samping memiliki beberpa mamfaat, analisis komponen makna
juga memiliki keterbatasan. Analisis komponen makna tidak dapat diterapkan pada
semua kata, karena komponen makna kata berubah-ubah, bervariasi dan bertumpang
tindih. Analisis komponen makna lebih banyak dilaksanakan pada kelas kata
nomina, belum banyak dilakukan pada kelas kata verba, atau adjektiva, kata-kata
dari kelas itu juga dapat diberi ciri-ciri semantik.
Walaupun analisis komponen makna ini dengan pembagian biner
banyak kelemahanya tetapi cara ini banyak manfaatnya untuk memahami makna
kalimat. Para tata bahasawan tranformasional juga telah menggunakan teknik ini
sehingga minat terhadap anlisis komponen makna ini menjadi meningkat. Analisis
semantic kata yang dibuat seperti diatas tentu banyak memberi manfaat dalam
memahami makna-makna kalimat, tetapi pembuatan daftar kosa kata dengan disertai
ciri-ciri semantiknya secara lengkap bukanlah pekerjaan yang mudah sebab memerlukan
pengetahuan budaya, ketelitian, waktu, dan tenaga yang cukup besar.
4.
Semantik dan disiplin ilmu lain
Semantik sebagai ilmu yang mempelajari tentang makna
bahasa, tidak akan pernah lepas kaitannya dengan ilmu lain, seperti sosiologi,
psikologi dan ilmu sastra, karena dari ketiganyalah bahasa itu lahir.
a.
Semantik
dengan Sosiologi
semantik berhubungan
dengan sosiologi dikarenakan sering dijumpai dalam kenyataan masyarakat dalam
menggunakan kata tertentu untuk mengatakan sesuatu yang dapat menandai identitas
maupun kelompok penuturnya
Hasil observasi di Mataram:
Hasil observasi di Mataram:
1.
Peneliti
: Kesini sama siapa Mas?
Narasumber : sama cah-cah Mas
(
sama teman-teman Mas)
Kata “cah-cah” yang
digunakan narasumber sama juga berarti “teman –teman” narasumber menggunakan
kata “cah-cah” karena dirasa lebih
menunjukkan keakrapan.
2.
Narasuber
: Cewek-cewek ki pancen senenge do
ngrumpi
( Cewek-cewek memang senangnya ngrumpi)
Kata “cewek” dan “wanita” sebenarnya mempunyai makna
sama, kata “cewek” lebih identik digunakan oleh para remaja ataupun anak-anak
muda, sedangkan kata “wanita” terkesan lebih sopan diucapkan dan identik dengan
orangtua yang mengedepankan kesopanan dalam bertutur
b.
Semantik
dengan Psikologi
Kajian semantik dengan
psikologi tentunya lebih terkait hubungannya dengan kejiwaan, sebab ekpresi
dalam jiwa seseorang diungkapkan melalui bahasa dan mempunyai makna-makna
sesuai dengan konteksnya.
Hasil observasi di Mataram:
Hasil observasi di Mataram:
1.
Narasumber
: saya senang berolahraga di Mataram kalau sore begini, ramai.
Kata “ Senang ” diartikan sebagai
kegembiraan seseorang atas sesuatu yang dirasakannya. Tentung rasa itu timbul
dari ekspresi jiwanya, sehingga berkaitan dengan ilmu psikologi. Contoh diatas
merupakan analisis semantik adjektif dengan kata lain dapat dikatakan semantic
yang berkaitan dengan positif dan negatif.
2.
Narasumber : tadi sempat ragu juga meh kesini,
soalnya cuaca mendung.
Kata “ragu” yang diucapkan oleh
narasumber juga bagian dari ekspresi jiwannya.
c.
Semantik
dengan Ilmu Sastra
Dalam hubungannya
semantik dengan sastra telah dikenal konsep makna, informasi, dan maksud.
Ketiga konsep itu berbeda satu sama lain. Makna (meaning) adalah
sesuatu yang berada di dalam ujaran atau gejala dalam-ujaran. Informasi (information) adalah
suatu bentuk ujaran yang di dalamnya
membahas suatu objek kenyataan yang dibicarakan. Maksud (sense) adalah
suatu bentuk arah tujuan dari si pengujar sendiri.
Hubungan ilmu semantik
dengan ilmu sastra adalah dilihat dari konsep katanya. Mengingat dalam
karya sastra itu sendiri banyak sekali kemunculan kata yang mengandung unsur
semantis di dalamnya, maka maksud dari keterciptaan karya sastra itu sendiri
juga memiliki makna tersirat dan tersurat di dalamnya. Dari situlah seorang
pembaca akan menginterpretasi isi dari karya sastra itu sendiri sesuai dengan konsep
pemikiran mereka masing-masing.
Lihatlah penggalan contoh berikut ini:
Matahari datang
merangkai rupa cahaya pada dunia
Sebatang tubuh kulihat
mulai berkayuh di atas sepeda tua
Menyelami batas raut
menua dengan penuh rasa sabar
Suara pengharapan bertatap
paruh pada tuhan kala itu
Berharap sumber
kemaslahatan pun dihentak-hentakan dari perut bumi
Dalam penggalan puisi
diatas tentunya setiap individu punya persepsi sendiri-sendiri dalam memaknai
tiap untaian kata yang terkandung di dalamnya. Tidak usah keseluruhan dari
isinya, dalam satu kata seperti halnya “Matahari” pun bisa dimaknai menjadi
beberapa hal. Tergantung dari persepsi
individu dalam mengartikannya.
5. Semantik
Semantik di dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris semantics,
dari bahasa Yunani Sema (Nomina) ‘tanda’: atau dari verba samaino ‘menandai’,
‘berarti’. Istilah semantik sendiri
sudah ada sejak abad ke-17. Semantik dinyatakan dengan tegas sebagai ilmu
makna, baru pada tahun 1990-an dengan munculnya Essai de semantikue dari Breal,
yang kemudian pada periode berikutnya disusul oleh karya Stern.
6.
Semiotik
Semiotik berasal dari kata Yunani ‘semion’ yang berarti
tanda. Maka semiotika berarti ilmu tanda. Semiotika adalah cabang ilmu yang
berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
yanda, seperti sistem tanda dan yang berlaku bagi penggunaan tanda.
7.
Jenis Makna
Menurut Chaer (1994),
makna dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang.
Berdasarkan jenis semantiknya, dapat dibedakan antara makna leksikal dan makna
gramatikal, berdasarkan ada atau tidaknya referen pada sebuah kata atau leksem
dapat dibedakan adanya makna referensial dan makna nonreferensial, berdasarkan
ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan adanya makna
denotatif dan makna konotatif, berdasarkan ketepatan maknanya dikenal makna
kata dan makna istilah atau makna umum dan makna khusus. Lalu berdasarkan
kriteri lain atau sudut pandang lain dapat disebutkan adanya makna-makna
asosiatif, kolokatif, reflektif, idiomatik dan sebagainya.
a.
Makna
Leksikal dan Makna Gramatikal
Leksikal adalah
bentuk adjektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon. Satuan dari
leksikon adalah leksem, yaitu satuan bentuk bahasa yang bermakna. Kalau
leksikon kita samakan dengan kosakata atau perbendaharaan kata, maka leksem
dapat kita persamakan dengan kata. Dengan demikian, makna leksikal dapat
diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau bersifat
kata. Lalu, karena itu, dapat pula dikatakan makna leksikal adalah makna yang
sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera,
atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita (Chaer, 1994).
Umpamanya kata tikus makna leksikalnya adalah sebangsa binatang pengerat yang
dapat menyebabkan timbulnya penyakit tifus. Makna ini tampak jelas dalam
kalimat Tikus itu mati diterkam kucing, atau Panen kali ini gagal
akibat serangan hama tikus.
Makna leksikal
biasanya dipertentangkan dengan makna gramatikal. Kalau makna leksikal
berkenaan dengan makna leksem atau kata yang sesuai dengan referennya, maka
makna gramatikal ini adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses
gramatika seperti proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi
(Chaer, 1994). Proses afiksasi awalan ter- pada kata angkat dalam kalimat Batu
seberat itu terangkat juga oleh adik, melahirkan makna ’dapat’, dan dalam
kalimat Ketika balok itu ditarik, papan itu terangkat ke atas melahirkan
makna gramatikal ’tidak sengaja’.
b.
Makna
Referensial dan Nonreferensial
Perbedaan makna
referensial dan makna nonreferensial berdasarkan ada tidak adanya referen dari
kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar
bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata tersebut disebut kata bermakna
referensial. Kalau kata-kata itu tidak mempunyai referen, maka kata itu disebut
kata bermakna nonreferensial. Kata meja termasuk kata yang bermakna
referensial karena mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang
disebut ’meja’. Sebaliknya kata karena tidak mempunyai referen, jadi
kata karena termasuk kata yang bermakna nonreferensial.
c.
Makna Denotatif
dan Konotatif
Makna denotatif pada
dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna denotatif lazim diberi
penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut
penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya. Jadi,
makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi faktual objektif. Oleh
karena itu, makna denotasi sering disebut sebagai ’makna sebenarnya’(Chaer,
1994). Umpama kata perempuan dan wanita kedua kata itu mempunyai
dua makna yang sama, yaitu ’manusia dewasa bukan laki-laki’.
Sebuah kata disebut
mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai ”nilai rasa”, baik positif
maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki
konotasi. Tetapi dapat juga disebut berkonotasi netral. Makna konotatif dapat
juga berubah dari waktu ke waktu. Misalnya kata ceramah dulu kata ini
berkonotasi negatif karena berarti ’cerewet’, tetapi sekarang konotasinya
positif.
d.
Makna Kata
dan Makna Istilah
Setiap kata atau
leksem memiliki makna, namun dalam penggunaannya makna kata itu baru menjadi
jelas kalau kata itu sudah berada di dalam konteks kalimatnya atau konteks
situasinya. Berbeda dengan kata, istilah mempunyai makna yang jelas,
yang pasti, yang tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. Oleh karena
itu sering dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks. Hanya perlu
diingat bahwa sebuah istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan
tertentu. Perbedaan antara makna kata dan istilah dapat dilihat dari contoh
berikut
(1) Tangannya luka kena pecahan kaca.
(2) Lengannya luka kena pecahan kaca.
Kata tangan
dan lengan pada kedua kalimat di atas adalah bersinonim atau bermakna
sama. Namun dalam bidang kedokteran kedua kata itu memiliki makna yang berbeda.
Tangan bermakna bagian dari pergelangan sampai ke jari tangan; sedangkan
lengan adalah bagian dari pergelangan sampai ke pangkal bahu.
e.
Makna
Konseptual dan Makna Asosiatif
Leech (1976) membagi
makna menjadi makna konseptual dan makna asosiatif. Yang dimaksud dengan makna
konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks
atau asosiasi apa pun. Kata kuda memiliki makna konseptual ’sejenis
binatang berkaki empat yang biasa dikendarai’. Jadi makna konseptual
sesungguhnya sama saja dengan makna leksikal, makna denotatif, dan makna
referensial.
Makna asosiatif
adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan adanya
hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada di luar bahasa. Misalnya, kata melati
berasosiasi dengan sesuatu yang suci atau kesucian.
f.
Makna
Idiomatikal dan Peribahasa
Idiom adalah satuan
ujaran yang maknanya tidak dapat ”diramalkan” dari makna unsur-unsurnya, baik
secara leksikal maupun secara gramatikal. Contoh dari idiom adalah bentuk membanting
tulang dengan makna ’bekerja keras’, meja hijau dengan makna
’pengadilan’.
Berbeda dengan idiom, peribahasa memiliki makna yang masih
dapat ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya
”asosiasi” antara makna asli dengan maknanya sebagai peribahasa. Umpamanya
peribahasa Seperti anjing dengan kucing yang bermakna ’dikatakan ihwal
dua orang yang tidak pernah akur’. Makna ini memiliki asosiasi, bahwa binatang
yang namanya anjing dan kucing jika bersua memang selalu berkelahi, tidak
pernah damai.
g.
Makna Kias
Dalam kehidupan
sehari-hari, penggunaan istilah arti kiasan digunakan sebagai oposisi dari arti
sebenarnya. Oleh karena itu, semua bentuk bahasa (baik kata, frase, atau
kalimat) yang tidak merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal, arti
konseptual, atau arti denotatif) disebut mempunyai arti kiasan. Jadi,
bentuk-bentuk seperti puteri malam dalam arti ’bulan’, raja siang
dalam arti ’matahari’.
8.
Segi Tiga Makna
Citra mental / konsep
Lambang
|
Referen/objek
|
Segitiga makna tersebut menunjukkan bahwa di antara lambang
bahasa dan konsep terdapat hubungan langsung, sedangkan antara lambang
bahasa dengan referen (objek) TIDAK berhubungan langsung, karena harus
melalui konsep.
9. Kesimpulan
Bahwa dalam mempelajari ilmu semantik, kita juga perlu tahu,
pengertian, sejarah semantik serta hubugan semantik dengan ilmu lain. Bahwa
pengertian semantik adalah i cabang ilmu bahasa yang mempelajari hubungan
antara tanda-tanda linguistik atau tanda-tanda lingual dengan hal-hal yang
ditandainya (makna). Semantik sebagai ilmu yang mempelajari tentang makna
bahasa, tidak akan pernah lepas kaitannya dengan ilmu lain, seperti sosiologi,
psikologi dan ilmu sastra, karena dari ketiganyalah bahasa itu lahir.
Semantik adalah ilmu linguistik yang mengkaji tentang makna bahasa
baik itu frasa, kata, klausa, kalimat, wacana serta tanda. Makna adalah
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari semantik selalu saja melekat dari apa
saja yang kita tuturkan. Aspek makna ada empat yaitu pengertian, rasa, nada,
dan maksud.
Semiotik berasal dari kata Yunani ‘semion’ yang berarti
tanda. Maka semiotika berarti ilmu tanda. Semiotika adalah cabang ilmu yang
berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
yanda, seperti sistem tanda dan yang berlaku bagi penggunaan tanda.
Menurut Menurut Chaer jenis makna dibedakan
menjadi tujuh yaitu Makna Leksikal dan
makna gramatikal makna referensial dan nonreferensial, makna Denotatif dan
konotatif, makna kata dan makna istilah, makna konseptual dan makna asosiatif, makna
idiomatikal dan peribahasa, makna kias yang masing- masing menempati kedudukan
dan fungsinya.
Segitiga makna tersebut menunjukkan bahwa di antara lambang
bahasa dan konsep terdapat hubungan
langsung, sedangkan antara lambang bahasa dengan referen (objek) tidak berhubungan langsung, karena
harus melalui konsep.