1.
Sejarah
Perkembangan Retorika
Objek studi retorika setua kehidupan
manusia. Kafasihan bicara mungkin pertama kali dipertunjukkan dalam upacara
adat: kelahiran, kematian, lamaran, perkawinan, dan sebagainya. Pidato
disampaikan oleh orang yang mempunyai status tinggi. Dalam perkembangan
peradaban pidato melingkupi bidang yang lebih luas. “Sejarah manusia”, kata
Lewis Copeland dalam kata pengantar bukunya tentang pidato tokoh-tokoh besar
dalam sejarah, “terutama sekali adalah catatan peristiwa penting yang dramatis,
yang seringkali disebabkan oleh pidato-pidato besar. Sejak Yunani dan Roma
sampai zaman sekarang, kepandaian pidato dan kenegarawanan selalu berkaitan.
Banyak jago pedang juga terkenal dengan kefasihan bicaranya yang menawan”.
Uraian sistematis retorika yang
pertama diletakkan oleh orang Syracuse, sebuah koloni Yunani di pulau Sicilia.
Bertahun-tahun koloni itu diperintah para tiran. Tiran, di mana pun dan zaman
apa pun, senang menggusur tanah rakyat. Kira-kira tahun 465 SM, rakyat melancarkan
revolusi. Diktator ditumbangkan dan demokrasi ditegakkan. Pemerintah
mengembalikan lagi tanah rakyat kepada pemiliknya yang sah.
Di sinilah kemusykilan terjadi.
Untuk mengambil haknya, pemilik tanah harus sanggup meyakinkan dewan juri di
pengadilan. Waktu itu, tidak ada pengacara dan tidak ada sertifikat tanah. Setiap
orang harus meyakinkan mahkamah dengan pembicaraan saja. Sering orang tidak
berhasil memperoleh kembali tanahnya, hanya karena ia tidak pandai bicara.
Untuk membantu orang memenangkan haknya
di pengadilan, Corax menulis makalah retorika, yang diberi nama Techne Logon
(Seni Kata-kata). Walaupun makalah ini sudah tidak ada, dari para penulis
sezaman, kita mengetahui bahwa dalam makalah itu ia berbicara tentang “teknik
kemungkinan”. Bila kita tidak dapat memastikan sesuatu, mulailah dari
kemungkinan umum. Seorang kaya mencuri dan dituntut di pengadilan untuk pertama
kalinya. Dengan teknik kemungkinan, kita
bertanya “Mungkinkah seorang yang berkecukupan mengorbankan kehormatannya
dengan mencuri? Bukankah, sepanjang hidupnya, ia tidak pernah diajukan ke
pengadilan karena mencuri”. Sekaarang, seorang miskin mencuri dan diajukan ke
pengadilan untuk kedua kalinya. Kita bertanya, “Ia pernah mencuri dan pernah
dihukum. Mana mungkin ia berani melakukan lagi pekerjaan yang sama”. Akhirnya,
retorika memang mirip “ilmu silat lidah”.
Di samping teknik kemungkinan, Corax
meletakkan dasar-dasar organisasi pesan. Ia membagi pidato pada lima bagian: pembukaan,
uraian, argumen, penjelasan tambahan, dan kesimpulan. Dari sini,
para ahli retorika kelak mengembangkan organisasi pidato.
2.
Retorika
Zaman Romawi
Teori retorika Aristoteles sangat sistematis dan komprehensif. Pada
satu sisi, retorika telah mendapat dasar teoritis yang kokoh. Namun, pada sisi
lain, uraiannya yang lengkap dan persuasif telah membungkam para ahli retorika
yang datang sesudahnya. Orang-orang romawi selama dua ratus tahun setelah De Arte
Rhetorika tidak menambahkan apa-apa yang berarti bagi perkembangan retorika.
Buku Ad Herrenium, yang ditulis dalam bahasa latin kira-kira 100
SM, hanya mensistematisasikan dengan cara romawi warisan retorika gaya yunani.
Kekaisaran romawi bukan saja subur dengan sekolah-sekolah retorika, tetapi juga
kaya dengan orator-orator ulung, Antonius, Crassus, Rufus, Horteninsius. Yang
disebut terakhir terkenal begitu piawai dalam berpidato sehingga para artis
berusaha mempelajari gerakan dan cara penyampaiannya.
Kemampuan Hortensius di sempurnakan oleh licero. Licero muncul
sebagai negarawan dan cendakiawan. Ia percaya bahwa efek pidato akan baik, bila
yang berpidato adalah orang baik juga. The good man speaks well. Dalam praktek,
licero betul-betul orator yang sangat mempengaruhi.
Caesar, penguasa romawi yang ditakuti, memuji licero,” Anda telah
menemukan khazanah retorika, dan andalah orang pertama yang menggunakan
semuanya. Anda telah memperoleh kemenangan para Jenderal. Karena sesungguhnya
lebih agung memperluas batas-batas kecerdasan manusia daripada memperluas
batas-batas kerajaan romawi.
Dari tulisan-tulisannya yang sampai sekarang bisa dibaca, kita
mengetahui bahwa cicero sangat terampil dalam menyederhanakan pembicaraan yang
sulit. Bahasa latinnya mudah dibaca. Melalui penanya, bahwa mengalir dengan
deras tapi indah.
Puluhan tahun sepeninggal cicero, Quintillians mendirikan sekolah
retorika, ia sangat mengagumi cicero dan berusaha merumuskan teori-teori retorika
dari pidato dan tulisannya.
3.
Retorika
Zaman Pertengahan
Pada zaman yunani sampai zaman romawi, retorika selalu berkaitan
dengan kenegarawanan. Ada dua cara untuk memperoleh kemenangan politik: Talk it
out ( membicarakan sampai tuntas) atau shoot it out ( menembak sampai habis.
Retorika subur pada cara pertama cara demokrasi. Ketika demokrasi romawi
mengalami kemunduran, dan kaisar demi kaisar memegang pemerintahan
“membicarakan” diganti dengan “menembak”
Abad pertengahan sering disebut abad kegelapan, juga buat retorika.
Ketika agama berkuasa retorika di anggap sebagai kesenian jahiliah.
Dalam chistian doctrine (426), ia menjelaskan bahwa para
pengkhotbah harus sanggup mengajar satu abad kemudian, di timur muncul
peradaban baru seorang nabi menyampaikan firman tuhan “ berilah mereka nasihat
dan berbicaralah kepada mereka dengan pembicaraan yang menyentuh jiwa mereka.(
Al-qur’an 4: 63). Muhannad SAW. bersabda, memperteguh firman ini”. “
Sesungguhnya dalam kemampuan berbicara yang baik itu ada sihirnya”.
Pada Ali bin Abi Tholib, kafasihan dan kenegarawanan bergabung
kembali. Khotbah-khotbahnya dikumpulkan dengan cermat oleh para pengikutnya dan
diberi judul nahj al-Balaghah (jalan balaghah).
Kaum muslim menggunakan balaghah seebagai pengganti retorika, tetapi
warisan retorika yunani yang dicampakkkan di Eropa. Abad pertengahan dikaji
dengan tekun oleh para balaghah.
4.
Retorika
Zaman Modern
Abad pertengahan berlangsung selama seribu tahun (400-1400). Dalam
abad tersebut terdapat perang salib yang menimbulkan Renaissance. Seorang
pemikir Rnaissance yang menarik kembali pada retorika adalah Peter Ramus. Ia
membagi retorika pada dua bagian inventio dan dispositio. Sedangkan retorika
hanyalah berkenaan dengan elocutio dan pronuntiatio.
Rager Bacon (1214-1219) adalah penghubung dari Renaissance dengan
retorika modern. Ia menyatakan,”... kewajiban retorika ialah menggunakan rasio
dan imajinasi untuk menggerakkan kemauan secara lebih baik”. Rasio, imajinasi,
kemauan adalah fakultas-fakultas psikologis yang kelak menjadi kajian utama
ahli retorika modern.
Aliran Epistemologis adalah aliran pertama dalam retorika masa
modern. Epistemologi membahas “teori pengetahuan”: asal-usul, sifat, metode,
dan batas-batas pengetahuan manusia.
George Campbell (1719-1796), mengatakan retorika haruslah diarahkan
kepada upaya “mencerahkan pemahaman, menyenangkan imajinasi, menggerakkan
perasaan, dan mempengaruhi kemauan”.
Aliran retorika modern kedua dikenal sebagai gerakan belles lettres
(Bahasa Prancis : tulisan yang indah). Hugh Blair (1718-1800) menulis Lectures
On Rhetoric and Belles Lettres. Di sini ia menjelaskan hubungan antara
retorika, sastra, dan kritik. Ia memperkenalkan fakultas citarasa (taste),
yaitu kemampuan untuk memperoleh kenikmatan dari pertemuan dengan apapun yang
indah. Citarasa, kata Blair mencapa, mencapai kesempurnaan ketika kenikmatan
inderawi dipadukan dengan rasio ketika rasio dapat menjelaskan sumber-sumber
kenikmatan.
Aliran pertama (epistemologi) dan kedua (belles lettres) memusatkan
perhatian pada persiapan pidato. Aliran ketiga disebut dengan gerakan
elokosionis yang menekankan pada teknik penyampaian pidato.
Gilbert Austin, memberikan petunjuk praktis penyampaian pidato,
“pembicara tidak boleh melihat melantur, ia aharus mengarahkan langsung pada
mata pendengar dan menjaga ketenangannya. Ia juga tidak boleh melepaskan
seluruh juaranya, tetapi mulailah dengan roda yang rendah dan mengeluarkan
suara sedikit saja”.
Ketika mengikuti kaum Elo kosionis, pembicara tidak lagi berbicara
dan bergerak secara spontan, gerakannya menjadi artifisial. Retorika kini tidak
lagi ilmu berdasarkan semata-mata “otak-atik otak”. Retorika, seperti disiplin
lain dirumuskan dari hasil penelitian empiris.
Pada abad ke dua puluh istilah
retorika mulai digeser oleh Speech, speech communication atau asal
communication, atau publik speaking. Di bawah ini adalah sebagian tokoh
retorika mutakhir diantaranya:
A.
James
A Winans
Ia adalah perintis penggunaan psikologi modern dalam pidatonya.
Bukunya, Public Speaking, terbit tahun 1917 mempergunakan teori
psikologi dari William James dan E.B Tichener. Sesuai dengan teori James bahwa
tindakan ditentukan oleh perhatian, Winans, mendefinisikan persuasi sebagai
“proses menumbuhkan perhatian yang memadai baik dan tidak terbagi terhadap
proposisi-proposisi”. Ia menerangakan pentingnya membangkitkan emosi melalui
motif-motif psikologi seperti kepentingan pribadi, kewajiban sosial dan
kewajiban agama. Cara berpidato yang bersifat percakapan (conversation) dan
teknik-teknik penyanmpaian pidato merupakan pembahasan yang amat berharaga.
Winans adalah pendiri Speech Communication Association of America (1950).
B.
Charles
Henry Woolbert
Ia pun termasuk pendiri the Speech Communication Of America. Kali
ini psikologi yang amat mempengaruhinya adalah behaviorisme dari John B.
Watson. Tidak heran kalau Woolbert memandang “Speech Communication” sebagai
ilmu tingkah laku. Baginya, proses penyusunan pidato adalah kegiatan seluruh
organisme. Pidato merupakan ungkapan kepribadian. Logika adalah dasar utama persuasi.
Dalam penyusunan persiapan pidato, menurut Woolbert harus diperhatikan hal-hal
berikut: proposisi yang cocok dengan khalayak dan situasi tersebut, (4) pilih
kalimat-kalimat yang dipertalikan secara logis. Bukunya yang terkenal adalah The
Fundamental of Speech.
C.
William
Noorwood Brigance
Berbeda dengan Woolbert yang menitikberatkan logika, Brigance
menekankan faktor keinginan (desire) sebagai dasar persuasi. “Keyakinan”, ujar
Brigance, “jangan merupakan hasil pemikiran. Kita, ketakutan kita dan emosi
kita”. Persuasi meliputi empat unsur: (1) rebut perhatian pendengar, (2)
usahakan pendengar untuk mempercayai kemampuan dan karakter anda, (3) dasarkanlah
pemikiran pada keinginan, dan (4) kembangkan setiap gagasan sesuai dengan sikap
pendengar.
D.
Alan
H. Monroe
Bukunya, Principles and Types of Speech, banyak kita
pergunakan dalam buku ini. Dimulai pada pertengahan tahun 20-an Monroe beserta
stafnya meneliti proses motivasi (motivating process). Jasa, Monroe yang
terbesar adalah cara organisasi pesan. Menurut Monroe, pesan harus disusun
berdasarkan proses berpikir manusia yang disebutnya motivated sequence.
Beberapa sarjana
retorika modern lainnya yang patut kita sebut antara lain A.E Philips (Effective
Speaking, 1908), Brembeck dan Howell (Persuasion: A Means of Social
Control, 1952), R.T Oliver (Psychology of Persuasive Speech, 1942).
Di Jerman, selain tokoh “notorious” Hitler, dengan bukunya Mein Kampf, maka
Naumann (Die Kunst der Rede, 1941), Dessoir (Die Rede als Kunst,
1984) dan Damachke (Volkstumliche Redekunst, 1918) adalah pelopor
retorika modern juga.
Dewasa ini retorika
sebagai public speaking, oral communication, atau speech
communication –diajarkan dan diteliti secara ilmiah di lingkungan akademis.
Pada waktu mendatang, ilmu ini tampaknya akan diberikan juga pada
mehasiswa-mahasiswa di luar ilmu sosial. Dr. Charles Hurst mengadakan
penelitian tentang pengaruh speech courses terhadap prestasi akademis
mahasiswa. Hasilnya membuktikan bahwa pengaruh itu cukup berarti. Mahasiswa
yang memperoleh pelajaran speech (speech group) mendapat skor yang lebih
tinggi dalam tes belajar dan berpikir, lebih terampil dalam studi dan lebih
baik dalam hasil akademisnya dibanding dengan mahasiswa yang tidak memperoleh
ajaran itu.
Hurst menyimpulkan:
Data penelitian ini menunjukkan dengan jelas bahwa kuliah speech
tingkat dasar adalah agen synthesa, yang memberikan dasar skematis
bagi mahasiswa untuk berpikir lebih teratur dan memperoleh penguasaan yang
lebih baik terhadap aneka fenomena yang membentuk kepribadian.
Penelitian ini menjadi
penting bagi kita, bukan karena dilengkapi dengan data statistik yang meyakinkan
atau karena berhasil memberikan gelar doktor bagi Hurst, tetapi karena
erat kaitannya dengan prospek retorika di masa depan.