Halaman

Sosiolek Gender :Menelisik Pandangan Bahwa Perempuan Lebih Sopan Daripada Laki-lakiDalam Berbahasa Indonesia Di Indonesia Dalam Kajian Sosiolinguistik

0 komentar



Sosiolek Gender :Menelisik Pandangan Bahwa Perempuan Lebih Sopan Daripada Laki-lakiDalam Berbahasa Indonesia Di Indonesia
Dalam Kajian Sosiolinguistik
Oleh :
Kenedo Herlambang Sakti
(0620092311)
Universitas Pekalongan

Pendahuluan
            Bahasa sebagai alat komunikasi seringkali memberikan fenomena yang menarik untuk dibahas. Linguistik, ilmu yang mempelajari seluk-beluk bahasa memiliki beberapa tataran ilmu.Salah satunya adalah Sosiolinguistik, yaitu tataran linguistik yang mempelajari tentang bahasa yang digunakan atau berkaitan dengan masyarakat, termasuk penggunaan bahasa pada perbedaan gender.
            Sebuah topik yang menarik apabila membahas sesuatu yang berkenaan dengan perbedaan jenis kelaminkarenaakanmenuaipolemikatauperbedaanpandanganantarkaumnya. Tidak heran jika asumsi atau pandangan yang berpendapat bahwa “Perempuan lebih sopan daripada laki-laki” menjadipembahasan yang menarik. Kaum hawa yang menyandang predikat sebagai kaum dipandang dengan nilai-nilai keindahan, seperti keanggunan, kesopanan serta kelembutan memang memiliki nilai lebih.
            Tidak salah jika banyak yang menilai perempuan lebih sopan daripada laki-laki termasuk saat berkomunikasi. Dengan bekal nilai feminin, para perempuan dirasa lebih mampu menjaga norma kesopanan dalam bertutur kata. Namun apakah itu sebuah jaminan terhadap fenomena tersebut ? Tentu saja tidak, terdapat beberapa faktor yang menentukan pengguna bahasa dalam bertutur kata.Oleh karena itu perlu informasi lebih, guna mendapat keakuratan dalam menyikapi fenomena yang ada.

            Pembahasan
Secara umum fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi bagi manusia, baik komunikasi  lisan maupun komunikasi tulis.  Fungsi ini adalah fungsi dasar bahasa yang belum  dikaitkan dengan status dan nilai-nilai sosial, termasuk perbedaan jenis kelamin. Bahasa juga memiliki beberapa sifat, salah satu sifat bahasa adalah konvensional, artinya sebagai satu pandangan atau anggapan bahwa kata-kata sebagai penanda tidak memiliki hubungan instrinsik dengan objek, tetapi berdasarkan kebiasaan, kesepakatan atau persetujuan masyarakat yang didahului pembentukan secara arbitrer. Hal itu memicu perbedaan penggunaan bahasa dalam pergaulan pada kaum berbeda. Apabila dilihat dari fungsi dan sifat konvensionalnya tentu bahasa memiliki berbagai fenomena yang menjadi sebab dan akibat dari penggunaan bahasa tersebut. Salah satu fenomena yang muncul terkait perbedaan penggunaan bahasa pada perbedaan kaum tersebut adalah pandangan bahwa perempuan dinilai lebih sopan saat berkomunikasi.
Fenomena yang menyatakan bahwa Perempuan lebih sopan dari laki-laki dalam berbahasa tentu menuai beberapa asumsi. Lakkof (1975-1977) menegaskan bahwa ciri-ciri bahasa kaum perempuan bersifat intuitif, penuh pertimbangan. Kata, bunyi dan tata kalimat pada ‘bahasa’ kaum perempuan memberi sumbangan cukup besar dalam membangun gaya berkomunikasi lebih sopan. Menurut Brown (1980) berdasarkan bukti penelitian Tzeltal, terdapat korelasi yang cukup meyakinkan antara sopan-santun berbahasa dengan posisi kaum perempuan. Ia menegaskan bahwa sifat kebahasaan kaum wnita merupakan refleksi posisinya yang kurang beruntung serta posisinya yang lebih rendah dari kaum laki-laki. Sachiko Ide dkk. (1986) memahami bahwa bahasa kaum perempuan yang sopan merupakan suatu pencerminan dari posisi sosialnya.
            Pada era kini, pandangan bahwa posisi perempuan yang lebih rendah dari laki-laki sebenernya sudah tidak begitu signifikan. Di zaman ini sesungguhnya posisi perempuan dan laki-laki bisa dikatakan setara, karena didukung dengan undang-undang yang melindungi perempuan serta telah banyak seruan yang berisi “anti-emansipasi perempuan”, Hal itu menimbulkan perubahan pada kebijakan-kebijakan dalam berbagai persoalan kehidupan yang berkaitan dengan perempuan. Ketika berkomunikasi di masyarakat, memang kaum perempuan bertutur lebih sopan kepada kaum laki-laki, namun sebenarnya dalam saat yang bersamaan pun kaum laki-laki tentu berusaha bertutur lebih sopan dari tutur kata kaum perempuan yang dikatakan padanya. Proses timbal balik tersebut, dirasa belum mampu meyakinkan kaum perempuan.
            Dalam menggunakan bahasa, kaum laki-laki yang dinilai tidak lebih sopan dari kaum perempuan, sebenarnya hal itu didasari dengan anugerah fisik. Laki-laki memiliki pita suara yang lebih besar dari perempuan tentu pengucapannya cenderung lebih keras hal ini juga dipelajari dalam linguistik, fonologi. Namun, ucapan keras itu dipandang berbeda oleh perempuan, mereka menganggap kata yang laki-laki ucapkan dirasa membentak, padahal tidak. Selain perihal suara keras, sifat kekerasan laki-laki diniliai pula lewat intonnasi yang digunakan. Intonasi yang cenderung tinggi padahal terkadang telah dipengaruhi oleh sesuatu, sedangkan dari segi psikis laki-laki lebih mampu mengekspresikannya dengan suara.
Diluar segi fisik, dunia pergaulan laki-laki memang berbeda dengan perempuan. Pergaulan kaum laki-laki memang cenderung lebih ‘bebas’. Bebas yang dimaksud adalah mereka mampu menggunakan kosakata yang memang sedikit nakal. Kosakata ‘nakal’ itu mereka rasa dapat mengekspresikan dengan lebih perasaan mereka. Hasilnya, ketika perempuan mendengar para laki-laki yang sedang bercengkrama dengan bahasanya, perempuan mungkin akan merasa risih.
            Menyinggung dunia pergaulan, tampaknya perempuan dan laki-laki memang memililiki gaya berbeda yang menimbulkan asumsi bahwa perempuanlebih sopan. Perempuan cenderung menata pembicaraan secara kooperatif, sedangkan laki-laki cenderung menatanya secara kompetitif. Perempuan cenderung terlibat dalam pembicaraan hubungan, maksudnya bersifat pada perasaan dan memelihara hubungan dengan orang lain sedangkan laki-laki cenderung terlibat dalam pembicaraaan laporan yang artinya berpusat faktual tentang apa yang sedang berlangsung, dan laki-laki cenderung mengungkapkan secara apa adanya atau biasa disebut “blak-blakan”. Fakta lain dalam pergaulan perempuan dan laki-laki, terdapat perbedaan pada komposisi pembicaraannya. Jika dibandingkan dengan perempuan, laki-laki memang memiliki insting meng-interupsi lebih banyak. Bukan berarti perempuan jarang menginterupsi, hanya saja kata yang diucapkan terkadang bermakna menyetujui sebagai langkah awal (pembicaraan hubungan). Jika seperti itu laki-laki justru menangkapnya sebagai persetujuan bukan sanggahan, karena interupsi para perempuan tidak seperti interupsi laki-laki yang memang cenderung mengendalikan pembicaraan. Sehingga tidak jarang ditemui fenomena miss communication atau salah komunikasi antara laki-laki dengan perempuan dalam sebuah percakapan.
            Komposisi lain yang mendorong asumsi perempuan lebih sopan adalah penggunaan kata Maaf yang lebih sering diucapkan perempuan daripada laki-laki. Pria menekankan pada isi dan tujuan pembicaraan beserta mekanismenya, sedangkan wanita menekankan pada cara berhubungan dan perasaan. Pria mementingkan bagaimana pesan dalam komunikasinya dapat tersampaikan, sedangkan wanita mementingkan bagaimana cara mereka berbicara dan bagaimana cara mereka menyampaikan pesannya. Contohnya dalam berkomunikasi antarpribadi pria kurang ekspresif dibandingkan wanita. Wanita mampu menggunakan berbagai nada dan ekspresi secara spontan, maupun dengan gerak tubuh yang mampu mempersuasif terjadi secara natural. Wanita menggunakan lebih banyak pertanyaan daripada pria dan mereka menggunakannya sebagai strategi pemeliharaan percakapan. Wanita lebih cenderung memulai giliran berbicara dengan secara langsung mengakui andil pembicaraan sebelumnya, seperti “Saya setuju dengan Sodik. Mari kita berkumpul jam 7 malam”. Pria cenderung tidak mengakui apa yang dikatakan sebelumnya, melainkan mengatakan pendapatnya. Karena perbedaan gaya ini, wanita mungkin merasa bahwa komentar mereka diabaikan sementara pria merasa mengubah topik secara tiba-tiba, sementara wanita mengubah topik secara bertahap.Hal ini diperkuat dengan teori feminisme yang menyatakan perasaan perempuan lebih halus, harus dilindungi dan perlu perlakuan lebih. Pada segi feminisme, khususnya di Indonesia, kaum perempuan menyandang peran sebagai orang yang anggun, kelembutan dan keindahan. Peran itulah yang sebenarnya menjadi pemicu adanya perbedaan.
Perempuan memiliki norma yang lebih ketat dari laki-laki, salah satunya norma dalam berbahasa. Ada sebuah contoh yang membedakan tutur kata laki-laki dengan perempuan. Adat Jawa misalnya, salah satu adat yang masih memegang teguh aturan normanya, akan dinilai tabu apabila melanggarnya termasuk dalam bertutur kata.Tabu memang berperan penting dalam bahasa. Masalah inipun disinggungdalam ilmu semantik. Ilmu ini memperhatikan tabu sebagai penyebab perubahan makna kata. Sejumlah kata yang ditabukan tidak dipakai kemudian diganti dengan kata lain yang sudah mempunyai makna tersendiri.
Dalam masyarakat Indonesia, terutama dalam bahasa daerah, seringkali dikatakan perempuan lebih banyak menghindari penggunaan kata-kata kotor . kata-kata tersebut sepertinya ditabukan oleh perempuan atau seolah-olah menjadi monopoli laki-laki.Misalkan ketika seorang yang mengumpat, seorang laki-laki yang mengumpat dan mengatakan  asu (yang berarti : anjing) ,’masih’ dapat dianggap wajar, sedangkan perempuan takkan mengatakan asu, namun menyopankannya dengan bentuk kata asem . Padahal kedua kata tersebut adalah bentuk kata umpatan yang bagaimanapun juga tetap sebagai pelanggaran sopan santun dalam bertutur kata. Dengan menggunakan bahasa yang sopan atau standar, perempuan mencoba melindungi keinginan atau kebutuhan mereka.
Hal tersebut membuat perempuan merasa dituntut lebih, dengan begitu perempuan lebih dalam melihat nilai kesopanan. Dalam kata lain, perempuan menuntut perlakuan dan status sosial yang lebih tinggi atas usahanya yang terikat oleh aturan norma kesopanan. Bagaimanapun feminisme masih memiliki peranan penting dalam melindungi perempuan, walaupun tidak semua perempuan benar-benar feminin.
            Gagasan yang mampu menjawab adalah macam-macam individu itu sendiri. Maksudnya, setiap orang yang pada dasarnya memiliki sifat yang berbeda-beda, tentu akan berbeda pula cara penggunaan bahasanya dengan orang yang lain. Fakta tersebut dapat dijadikan bahan referensi ketika dihadapkan dengan sebuah penilaian yang bersifat sama rata. Jika kita perhatikan, hanya dengan mendengar bahasa yang diucapkan seseorang terkadang kita mampu menilai sikap pembicara atau bahkan sifat si pembicara. Fenomena tersebut mempunyai kaitan dengan penggunaan bahasa. Kaitannya adalah apabila sebuah pandangan beranggapan bahwa “perempuan lebih sopan daripada laki-laki dalam berbahasa” , maka pandangan tersebut belum tepat. Karena pada kaum perempuan, tidak semua perempuan berbahasa dengan sopan. Begitu pula sebaliknya pada kaum laki-laki.
            Contohnya ketika keadaan marah dan meluapkan emosi yang bersamaan, seorang laki-laki pada umunya akan melantangkan suaranya dan mengeluarkan kata-kata yang bersifat kasar. Sedangkan seorang perempuan seperti pada umumnya akan lebih memilih untuk diam tanpa mengeluarkan sepatah kata atau bahkan menangis. Pada watak yang berbeda dengan situasi yang sama, ada seorang laki-laki yang memilih diam tanpa mengeluarkan sepatah kata. Di sisi lain ada seorang perempuan berwatak keras, justru melantangkan suaranya dan mengeluarkan kata-kata yang bersifat kasar.
Fenomena tersebut dapat dijadikan referensi atau bahan penimbang yang menengahi adanya pandangan bahwa perempuan lebih sopan. Karena sejatinya setiap orang menerima pendidikan norma yang mengajarkan agar dapat berperilaku dan bertutur kata dengan sopan dan santun.
Pokok persoalan disini bukanlah bahasa perempuan yang murni lebih baik daripada bahasa laki-laki. Pembahasan ini hanya menampakkan bahwa faktor sosial (perbedaan jenis kelamin), mampu membedakan penggunaan bahasa dalam berkomunikasi. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran masing-masing kaum untuk saling memahami bahasa kaum lain dengan baik tanpa saling menyakiti perasaan dalam bertutur kata.

Simpulan
            Dari penjelasan diatas, pandangan bahwa perempuan lebih sopan daripada  laki-laki dalam berbahasa belum tepat karena tidak murni. Ketidakmurnian itu didasari oleh faktor genetik dan psikis. Ada berbagai macam sifat atau watak seorang perempuan, begitu pula sebaliknya. Seluruh pengguna bahasa memang menentukan baik atau buruk bahasa yang digunakan, namun baik atau buruknya bahasa bukan ditentukan oleh jenis kelamin.









Daftar Pustaka
Ohoiwutun, Paul.2007.Memahami Bahasa Dalam Konteks Masyarakat Dan
Kebudayaan
.Jakarta: Percetakan KBI
Http://id.wikipedia.org/wiki/Kategori:Sosiolinguistik. Diakses pada Sabtu 30 mei
2015. Pukul 11:03 WIB.
Kuntjara, Esther. 2004. Gender, Bahasa dan Kekuasaan. Jakarta: BPK Gunung
Mulia

- Published By Gooyaabi Templates | Powered By Blogger