SALAH
SATU PENYEBAB AUTISME PADA MASYARAKAT
KHUSUS
NYA DI DAERAH PEDESAAN
Eka Hardiyanti
Universitas Pekalongan
Artikel ini mendeskripsikan dan membahas
tentang salah satu penyebab autisme pada masyarakat di pedesaan. Faktor
penyebabnya adalah PERNIKAHAN DINI PADA REMAJA. Dampak nya yaitumengakibatkan
anak dari hasil pernikahan dini mengalami autisme karena kerentanan pada ibu
yang mengandung kurang siap baik kesiapan dari segi mental,usia dan kondisi
kematangan dalam kandungan ibu. Maka dari itu pemerintah menetapkan batas
minimal bagi perempuan untuk menikah yaitu 21 tahun, hal tersebut di berlakukan
untuk meminimalkan terjadinya autisme pada bayi dari hasil pernikahan dini.
Pernikahan dini pada remaja di daerah pedesaan sangat banyak, hal tersebut
terjadi karena kurangnya pengetahuan tentang akibat dan faktor penyebab autisme
pada bayi dan juga kurangnya pengetahuan tentang kesiapan kandungan dan mental
pada si ibu yang sedang mengandung. Adanya sosialisasi tentang penyebab autisme
bagi masyarakat yang kurang pengetahuan sangatlah perlu, khususnya bagi
masyarakat pedesaan karena mayoritas dari mereka hanya mengetahui bahwa autisme
terjadi saat bayi sudah lahir padahal autisme terjadi saat masih dalam
kandungan.
Pendahuluan
Pengertian Autis
Autis adalah gangguan perkembangan saraf
yang kompleks dan ditandai dengan kesulitan dalam interaksi sosial, komunikasi,
dan perilaku terbatas berulang-ulang dan karakter stereotip. Gejala autis
muncul sebelum 3 tahun kelahiran sang anak, autis merupakan salah satu dari
tiga gangguan autisme spectrum disorder. Dua di antaranya adalah sindrome
asperger dan PDD-NOS (pervasive developmental disorder –not otherwise
specified)
Pembahasan
Pengetahuan pada masyarakat di daerah
pedesaan tentang bahaya dan faktor penyebab autisme sangatlah sedikit. Banyak
diantara mereka tidak mengetahui bahwa autisme terjadi salah satu nya karena
banyaknya pernikahan dini pada remaja. Mengapa autisme terjadi karena
pernikahan dini? Karena pernikahan dini yang terjadi pada remaja khususnya
perempuan mengakibatkan ketidak siapan baik secara mental, fisik,usia dan
kandungan bagi para ibu yang nantinya akan mengandung. Masyarakat pedesaan
tidak terlalu mengedepankan masalah kesehatan yang sesungguhnya sangat penting
bagi para ibu dan bayinya, kurang nya pengetahuan juga salah satu penyebabnya.
Masyarakat desa cenderung berfikir autis adalah penyakit idiot atau kekurangan
mental yang terjadi kaena keturunan atau kondisi bayi yang sakit setelah lahir,
padahal autisme terjadi sejak bayi ada pada kandungan ibu, keluarga sekitar
yang juga tidak memiliki pengetahuan tentang kesehatan juga menambah daftar
terjadi nya autisme pada bayi yang dilahirkan dari hasil pernikahan dini.
Banyak dari orang tua justru menikahkan anak-anak nya di usia yang belum matang
secara fisik maupun kondisi mental nya, kebanyakan remaja di desa tidak
mengenyam bangku sekolah sampai tingkat tinggi karena itu banyak yang
menganggap masalah ini bukan masalah yang serius, kurang nya pendidikan pada
remaja desa dan sering nya terjadi seks bebas walaupun di kalangan remaja desa
mengakibatkan orang tua menikahkan anak mereka pada usia yang rentan terjadi
masalah dalam rumah tangga. Masyarakat desa berpandangan bahwa kodrat perempuan
berada di dalam rumah dan mengurus keluarga, mereka tidak berfikir bahwa
pendidikan bagi generasi muda sangatlah penting. Pernikahan yang terjadi pada
remaja desa kebanyakan terjadi bukan karena berlandaskan kedewasaan tetapi
berlandaskan karena ego orang tua dan kesalahan mendidik pada remaja itu sendiri.
Bahkan materi bisa dijadikan salah satu faktor penyeab pernikahan dini itu
sendiri, karena tidak sedikit pula orang tua yang menikahkan remaja atau anak
mereka untuk mendapatkan sebuah pengakuan dari masyarakat sekitar bahwa anak
mereka mampu menikah dengan orang berada.
Padahal menikahkan anak pada usia dini
yaitu 18th kebawah sangat rentan terhadap bahaya autisme, mengapa? Karena
ketidak mapanan atau ketidak siapan mental pada perempuan yang masih belia
sangat rentan terjadi nya masalah kesehatan baik bagi ibu maupun bayi yang
dikandung, calon ibu yang hamil pada usia dini sangat minim pengetahuan tentang
kesehatan kandungan dan cara asuh bayi saatmasih didalam kandungan, mereka
berfikir cara asuh bayi hanya dilakukan pada saat bayi sudah lahir padahal
perawatan dan pengasuhan bayi dimulai sejak bayi masih dalam kandungan dengan
cara memperhatikan kesehatan kandungan dan memberikan asupan gizi yang cukup,
serta dengan rutin memeriksakan kondisi kandungan pada dokter atau bidan
sangatlah perlu. Kondisi seperti inilah yang perlu diwaspadai pada masyarakat
didaerah pedesaan. Mental ibu yang belum siap pun menjadi faktor penyebab
autisme karena mental bagi ibu hamil sangatlah penting, banyak dari ibu yang
hamil pada usia belasan tahun tidak memerhatiakan hal ini karena informasi yang
beredar dalam masyarakat desa bahwa autisme tidak terjadi saat bayi masih dalam
kandungan tetapi ketika bayi sudah lahir.
Maka dari itu pemerintah ikut serta
turun tangan untuk menghadapi kondisi ini dengan cara memberlakukan undanga-undang
usia menikah minimal 21th bagi perempuan. Cara ini cukup membantu terjadinya
pernikahan dini pada remaja.
Pendidkan tentang kesehatan pada
masyarakat pedesaan sangatlah tabu dan kurang, padahal untuk hal semacam ini
pendidikan atau pengetahuan bagi masyarakat sangatlah perlu, untuk meminimalkan
terjadinya pernikahan dini bagi remaja yang nantinya mengakibatkan kelahiran
bayi autis juga perlu di kembangkan pendidikan dalam masyarakat desa. Karena
sejatinya remaja berkewajiban meningkatkan dan meneruskan perjuangan untuk
meningkatkan kualitas SDM.
Akibat dari pernikahan dini tidak hanya
autisme tetapi masih banyak lagi penyakit yang menyerang bayi yang salah karena
pola asuh dari ibu yang masih belum siap kondisi fisik dan mentalnya.
Adanya pos pelayanan terpadu dalam desa
pun tidak cukup membantu bagi masyarakat yang kurang pengetahuan tentang bayi
autis. Perlu di perhatikan beberapa pencegah terjadi nya autisme yaitu pola
berfikir masyarakat pedesaan juga perlu dirubah dan diberi pengetahuan tentang
kesehatan bayi dan bahaya pernikahan dini bagi ibu dan bayi. Karena pada
dasarnya menikah dan mengandung membutuhkan kesiapan yang matang, agar nantinya
bayi yang lahir menjadi sehat tanpa kekurangan apapun. Pola asuh terhadap bayi
senantiasa sejak pada trimester pertama harus diperketat, karena tidak hanya
autisme yang nantinya akan menyerang bayi tersebut, kebanyakan bayi mengidap
penyakit kebocoran jatung karena pola asuh ibu saat mengandung tidak baik dan
kurang memerhatikan nya. Tidak hanya itu asupan makanan yang masuk kedalam
tubuh ibu yang sedang mengandung juga perlu di perhatikan, kebanyakan ibu yang
sedang mengandung tidak membatasi makanan yang masuk kedalam tubuh, makannan
instan atau junk food sebaik nya dihindari agar vitamin yang masuk kedalam
tubuh bayi bisa diserap dengan baik. Umumnya masyarakat desa tidak memiliki
pengetahuan tentang perawatan dan pola asuh janin saat berada dalam kandungan.
Pada hakikatnya autis bukanlah sebuah
penyakit melainkan sindrome yang terjadi didalam janin ibu karena cara
perawatan dan pola asuh yang salah saat mengandung.
Secara
historis, para ahli dan peneliti dalam bidang autisme mengalami kesulitan dalam
menentukan seseorang sebagai penyandang autisme atau tidak. Pada awalnya,
diagnosa disandarkan pada ada atau tidaknya gejala namun saat ini para ahli
setuju bahwa autisme lebih merupakan sebuah kontinuum. Gejala-gejala autisme dapat dilihat
apabila seorang anak memiliki kelemahan di tiga domain tertentu, yaitu sosial, komunikasi, dan
tingkah laku yang berulang
Aarons dan Gittents (1992) merekomendasikan adanya
suatu pendekatan deskriptif dalam mendiagnosa autisme sehingga menyertakan
pengamatan-pengamatan yang menyeluruh di setting-setting sosial anak sendiri. Settingnya mungkin di sekolah, di
taman-taman bermain atau mungkin di rumah sebagai lingkungan sehari-hari anak
dimana hambatan maupun kesulitan mereka tampak jelas di antara teman-teman
sebaya mereka yang normal.
Persoalan lain
yang memengaruhi keakuratan suatu diagnosa seringkali juga muncul dari adanya
fakta bahwa perilaku-perilaku yang bermasalah merupakan atribut dari pola asuh yang kurang tepat. Perilaku-perilaku
tersebut mungkin saja merupakan hasil dari dinamika keluarga yang negatif dan
bukan sebagai gejala dari adanya gangguan. Adanya interpretasi yang salah dalam
memaknai penyebab mengapa anak menunjukkan persoalan-persoalan perilaku mampu
menimbulkan perasaan-perasaan negatif para orang tua. Pertanyaan selanjutnya
kemudian adalah apa yang dapat dilakukan agar diagnosa semakin akurat dan
konsisten sehingga autisme sungguh-sungguh terpisah dengan kondisi-kondisi yang
semakin memperburuk? Perlu adanya sebuah model diagnosa yang menyertakan
keseluruhan hidup anak dan mengevaluasi hambatan-hambatan dan kesulitan anak
sebagaimana juga terhadap kemampuan-kemampuan dan keterampilan-keterampilan
anak sendiri. Mungkin tepat bila kemudian disarankan agar para profesional di
bidang autisme juga mempertimbangkan keseluruhan area, misalnya: perkembangan
awal anak, penampilan anak, mobilitas anak, kontrol dan perhatian anak,
fungsi-fungsi sensorisnya, kemampuan bermain, perkembangan konsep-konsep dasar,
kemampuan yang bersifat sikuen, kemampuan musikal, dan lain sebagainya yang
menjadi keseluruhan diri anak sendiri.
Anak dengan autisme dapat tampak normal pada tahun
pertama maupun tahun kedua dalam kehidupannya. Para orang tua seringkali
menyadari adanya keterlambatan kemampuan berbahasa dan cara-cara tertentu yang
berbeda ketika bermain serta berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tersebut
mungkin dapat menjadi sangat sensitif atau bahkan tidak responsif terhadap
rangsangan-rangsangan dari kelima panca
inderanya (pendengaran, sentuhan,
penciuman, rasa dan penglihatan). Perilaku-perilaku repetitif (mengepak-kepakan
tangan atau jari, menggoyang-goyangkan badan dan mengulang-ulang kata) juga
dapat ditemukan. Perilaku dapat menjadi agresif (baik kepada diri sendiri
maupun orang lain) atau malah sangat pasif. Besar kemungkinan,
perilaku-perilaku terdahulu yang dianggap normal mungkin menjadi gejala-gejala
tambahan. Selain bermain yang berulang-ulang, minat yang terbatas dan hambatan
bersosialisasi, beberapa hal lain yang juga selalu melekat pada para penyandang
autisme adalah respon-respon yang tidak wajar terhadap informasi sensoris yang mereka terima, misalnya;
suara-suara bising, cahaya, permukaan atau tekstur dari suatu bahan tertentu
dan pilihan rasa tertentu pada makanan yang menjadi kesukaan mereka.
Beberapa
atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat diamati pada
para penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi yang teringan
hingga terberat sekalipun.
1.
Hambatan dalam
komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa.
2.
Kesulitan dalam
berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta menghubungkan
peristiwa-peristiwa yang terjadi.
3.
Bermain dengan mainan
atau benda-benda lain secara tidak wajar.
4.
Sulit menerima
perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali.
5.
Gerakkan tubuh yang
berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang tertentu
Para
penyandang Autisme beserta spektrumnya sangat beragam baik dalam kemampuan yang
dimiliki, tingkat intelegensi, dan bahkan perilakunya. Beberapa di antaranya
ada yang tidak 'berbicara' sedangkan beberapa lainnya mungkin terbatas
bahasanya sehingga sering ditemukan mengulang-ulang kata atau kalimat (echolalia). Mereka yang memiliki kemampuan bahasa yang tinggi
umumnya menggunakan tema-tema yang terbatas dan sulit memahami konsep-konsep
yang abstrak. Dengan demikian, selalu terdapat individualitas yang unik dari
individu-individu penyandangnya.
Terlepas
dari berbagai karakteristik di atas, terdapat arahan dan pedoman bagi para
orang tua dan para praktisi untuk lebih waspasa dan peduli terhadap gejala-gejala
yang terlihat. The National Institute of Child Health and Human
Development (NICHD) di Amerika
Serikat menyebutkan 5 jenis
perilaku yang harus diwaspadai dan perlunya evaluasi lebih lanjut :
1.
Anak tidak bergumam
hingga usia 12 bulan
3.
Anak tidak
mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16 bulan
4.
Anak tidak mampu
menggunakan dua kalimat secara spontan di usia 24 bulan
5.
Anak kehilangan
kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada usia tertentu
Adanya kelima ‘lampu
merah’ di atas tidak berarti bahwa anak tersebut menyandang autisme tetapi
karena karakteristik gangguan autisme yang sangat beragam maka seorang anak
harus mendapatkan evaluasi secara multidisipliner yang dapat meliputi; Neurolog, Psikolog, Pediatric, Terapi Wicara, Paedagog dan profesi lainnya yang memahami persoalan
autisme.
Dokter
spesialis yang cocok untuk mendeteksi
Autisme adalah Dokter Spesialis Anak (Sp.A) yang dibantu oleh Dokter Spesialis
Kedokteran Jiwa (Sp.KJ) untuk mengetahui antara lain tingkat kecerdasan Balita,
Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala leher (Sp.THT-KL) untuk
mengetahui antara lain pendegaran Balita Yang tidak/kurang responsif terhadap
suara atau bahkan tidak dapat berkata-kata dan dapat disangka penderita
Autisme, padahal bukan.
Kesimpulan
Dalam
masyarakat pedesaan penaganan khusus untuk memahami apa itu autis dan apa
penyebab autis.
Kebanyakan
diantara kita mengira autis adalah penyakit, sebenarnya autis adalah sindrome
yang terjadi pada saat masih dalam kandungan, dann ternyata pernikahan dini
pada remaja menjadi salah satu faktor penyebab autis sekarang ini. Pernikahan
dini di nilai menjadi salah satu faktor karena belum ada nya kesiapan pada para
calon ibu mudda untuk mengandung, kesiapan yang di maksud adalah kesiapan
mental,fisik,usia,dan kandungan si ibu. Kurangnya pengetahuan didalam
masyarakat desa tentang kasus ini menimbulkan pemikiran baru bagi pemerintah
untuk mengeluarkan undang-undang tentang batas minimal usia pernikahan bagi
perempuan. Tindakan pemerintah juga bertujuan untuk meminimalkan terjadi nya
penyakit lain yang terjadi pada remaja yang mengandung seperti penyakit
kebocoran jantung yang di akibatkan oleh lemahnya kandungan ibu dan pemberian
asupan makanan pada baayi saat masih dalam kandungan.
Daftar Pustaka
Delphie, B. (2006). Pembelajaran Anak
Berkebutuhan Khusus. Bandung: PT Refika Aditama.