PEMERTAHANAN DIALEK BANYUMAS
TERHADAP DOMINASI DIALEK SOLO-YOGYA
Rini Susanti
Artikel ini mendriskripsikan mengenai pemertahanan dialek
antara dialek Banyumas dan dialek Solo-yogya. Ada berbagai sebab atau alasan
mengapa suatu bahasa punah atau tidak digunakan lagi oleh penutur-penuturnya.
Satu diantaranya adalah adanya dominasi atau dialek yang lebih besar baik
secara demografis, ekonomis, sosial, atau politis, seperti apa yang dialami
oleh dialek Banyumas dari tekanan bahasa Jawa Solo-Yogya. Untuk Pemertahanan
dialek Banyumas, kebijakan pembinaan bahasa Jawa, haruslah memberi peluang yang
seluas-luasnya bagi penutur-penuturnya untuk menggunakan dialek Banyumas
sehingga dialek ini bisamenjadi alat komunikasi yang utama dalam ranah keluarga
dan masyarakat dalam mengembangkan budaya lokalnya.
Kata kunci : Dialek dan Pemertahanan bahasa.
Pendahuluan
Dalam situasi persatuan dan dalam
kebinekaan, kebijakan bahasa nasional menggariskan bahwa bahasa indonesia
sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi. Sebagai bahsa nasional bahasa
indonesia adalah lambang semangat kebangsaan, alat penyatuan berbagai
masyarakat yang berbeda-beda latar belakang kebahasaan, kebudayaan,dan
kesukuannya ke dalam satu masyarakat nasional indonesia, alat perhubungan antar
suku, antardaerah, dan serta antarbudaya.
Sementara itu, dalam kedudukannya
sebagai bahasa resmi bahasa indonesia adalah bahasa resmi pemerintahan, bahasa
pengantar di dunia pendidikan, alat perhubungan pada tingkat nasional untuk
kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional, serta alat pengembangan
kebudayaan , ilmu pengetahuan dan teknologi (Halim, 1980,17; periksa pula Wijana,
2003; 235). Sementara bahasa-bahasa daerah harus tetap dipelihara karena
merupakan bagian dari kebudayaan nasional yang hendak dipersatukan, seperti
terlihat jelas dalam bunyi kebijakan pengembangan bahasa daerah berikut ini: “
bahasa-bahasa daerah yang masih dipakai sebagai alat perhubungan yang masih
hidup dan dibina oleh masyarakat pemakainya, dihargai dan dipelihara oleh
negara oleh karena bahasa-bahasa itu adalah bagian dari kebudayaan yang hidup”.
Beranalogi dengan kebijakan ini,
maka bahasa daerah tentu merupakan alat perhubungan intraetnis yang merupakan
lambang semangat kedaerahan. Sementara itu, dialek-dialeknya merupakan alat
perhubungan subetnis yang harus dipelihara keberadaanya sebagai pendukung
pemerkaya bahasa jawa standar. Hanya saja, berkacamata dari kebijakan yang
pernah dilakukan terhadap bahasa indonesia dan bahasa-bahasa daerah yang pada
masa orde baru. Pembinaan bahasa daerah justru mendapat porsi yang sangat kecil
sehingga banyak bahasa-bahasa daerah terancam keberadaannya. Bila bahasa daerah
sendiri kurang diperhatikan, dapat dipastikan dialek-dialeknya juga mengalami
nasib yang lebih memprihatinkan. Dalam masa reformasi terjadi pembalikan.
Orang-orang bereuforia mengagung-agungkan semangat kedaerahan yang bila tidak
diwaspadai justru akan meruntuhkan semangat kebangsaan. Dalam upaya pembinaan
bahasa daerah jawa khususnya, perlu selalu ditekankan pemeliharaan terhadap
dialek-dialek pendukungnya dengan tetap memerhatikan kedudukannya untuk tidak
melewati fungsi-fungsi yang dimiliki oleh bahasa indonesia sebagai bahasa
nasional.
Pembahasan
Sebagaimana kajian tentang pilihan
bahasa, pergeseran dan pemertahanan bahasa dikaji dengan berbagai metode,
bergantung kepada disiplin akademik para pakar. Pakar antropologi dan
linguistik antropologi memakai metode yang sama, terutama pengamatan
berpartisipasi, sebagaimana mereka pakai dalam kajian pilihan bahasa. Para
peneliti yang berorientasi antropologis biasanya mengkaji pilihan bahasa
sekaligus dengan pergeseran dan pemertahanan bahasa sebagai bagian dari gejala
yang sama. Pencarian sebab-sebab umum dan universal bagi terjadinya
pemertahanan dan pergeseran bahasa akan ditarik dari kajian tentang sejumlah
penelitian intensif terhadap guyup-guyup secara individual.
Pergeseran bahasa dan pemertahanan
bahasa sebenarnya seperti dua sisi mata uang, bahasa menggeser bahasa lain atau
bahasa yang tak tergeser oleh bahasa. Bahasa tergeser adalah bahasa yang tidak
mampu mempertahanka diri. Kedua kondidi itu merupakan akibat dari pilihan
bahasa dalam jangka panjang ( paling tidak tiga generasi) dan bersifat kolektif
dilakukan oleh seluruh warga guyup). Dalam pemertahanan bahasa, guyup itu
secara kolektif menentukan untuk melanjutkan memakai bahasa yang sudah bisa
dipakai. Ketika guyup tutur mulai memilih bahasa baru di dalam ranah yang
semula diperuntukan bagi bahasa lama, itulah mungkin merupakan tanda bahwa
pergeseran sedang berlangsung. Jika ara warga itu monolingual ( ekabahasawan )
dan secara kolektif tidak menghendaki bahasa lain, mereka jelas mempertahankan
pola penggunaan bahasa mereka. Namun, pemertahanan bahasa itu sering merupakan
ciri guyup dwibahasa atau ekabahasa. Yang pertama akan terjadi jika guyup itu
diglosik : guyup itu memperuntukkan ranah tertentu untuk setiap bahasa
sedemikian rupa sehingga batas ranah suatu bahasa tidak dilampaui atau
diterobos oleh bahasa lain.
1.
Dialek Banyumasan dan Dialek Solo-Yogya
Ilmuwan
E.M. Uhlenbeck membagi beberapa rumpun bahasa yang berada di wilayah jawa
tengah adalah bahasa Jawa bagian Tengah (Surakarta, Yogyakarta, Semarang dll)
dan kelompok bahasa Jawa bagian Timur.menjadii tiga bagian rumpun bahasa Jawa
bagian barat (Banyumasan, Tegalan, Cirebonan dan Banten Utara). Dari
masing-masing pembagian tersebut memiliki karakteristik masing-masing.
“ Basa Busananing bangsa “ secara arti
memang dapat dikatakan bahwa bahasa menjadi penanda siapa penutur bahasa
tersebut. Dengan, arti ini setiap bahasa memiliki kebudayaannya masing-masing
dan memiliki keunikan masing-masing. Keunikan –keunikan masing masing bahasa
itu menjadi penanda budaya yang hidup dalam masyarakat bahasa tersebut.
Bahasa
yang sifatnya arbitrer tersebut mempu menghasilkan system budaya baru yang akan
menandakan bagaimana budaya pada mayrakat tersebut tumbuh. Jawa bagian barat
yang mewakili karakteristik bahasa Banyumasan dalam bertutur memang memiliki ke
khasan sendiri di bandingankan dengan bahasa jawa wetanan yang sekarang lebih dikenal sebagai bahasa jawa standar.
Dialek
Banyumasan memang memiliki karakteristik tersendiri di bandingkan dengan bahasa
wetanan, ke khasan ini terlihat pada bebrapa hal , yang pertama yaitu akhiran
‘a’ tetap diucapkan ‘a’ bukan ‘o’. Jadi jika di bagian solo/jogja’orang
mengatakan “rekoso”, di wilayah
Banyumasan orang mengatakan rekasa Selain itu, dalam dialek Banyumasan akhiran
untuk huruf mati dibaca penuh. Contoh kata “kepenak”,
jika disampaikan orang bahasa wetanan huruf “k”
hilang diganti dengan tekanan pada huruf “
’a”, seperti pengucapan kata jum’at. Sedangkan pada kawasan Banyumasan di
baca kepenak dengan “k” dibaca penuh.
Bila tidak ada bahasa secara linguistik lebih unggul
dari bahasa yang lain, maka tidak ada pula dialek yang lebih unggul daripada
dialek yang lain. Dialek Banyumas yang sering dikatakan sebagai bahasa
“ngapak-ngapak” memiliki kekhususan-kekhususan linguistik yang tidak dimiliki
oleh bahasa Jawa standar. Ngapak kata lain untuk Bahasa Jawa Dialek
Banyumas.
Bahasa Jawa terdiri dari beberapa dialek dengan kekhasan
masing-masing. Salah satunya dialek Banyumas. Perbedaan dengan dialek lain
(misal dialek Yogya, Solo, Kedu) penggunaan huruf a. Pada dialek Banyumas
ibarat huruf Jawa masih asli dibaca ha,
na , ca, ra, ka, dha, ta, sa ,wa, la, pa, da, ja, ya, nya, ma, ga, ba, tha, nga.
Sementara pada dialek wetanan atau bandek (Yogya, Solo dll) menggunakan
vokal o, ho, no, co, ro, ko, dstrsnya.
Untuk
memudahkan inilah beberapa kosa kata dalam dialek Banyumas dan dialek wetanan
(timur).
Nasi
= sega wetanan sego
pergi
= lunga = lungo
gula
= gula = gulo
minyak
= lenga = lengo
pergi
jauh =ngumbara =ngumboro
kerja
= kerja/ngode = kerjo.
Perbedaan untuk kosa kata yang sama pada huruf vokal akhir.
Pada dialek bandek/wetan menggunakan vokal o, sementara pada huruf akhir a pada
dialek Banyumas tetap a. Dialek Banyumas digunakan oleh pengguna
bahasa Jawa di wilayah Banyumas, Purbalingga, Cilacap, Banjarnegara (Banyumas
Raya), juga Kebumen, Bumiayu. Sementara untuk Tegal dialeknya sedikit berbeda
hingga disebut Bahasa Jawa dialek Tegal.
Bagi
sebagian besar penggunanya Bahasa Jawa dialek Banyumas masih digunakan,
bahkan di perantauan pun mereka tetap berdialek Banyumas. Akan tetapi ada
sebagian lain yang malu berdialek Banyumas. Apa lagi jika sedang berada di
Yogya, Solo, Semarang yang mayoritas bandek. Percakapan menggunakan dialek
Banyumas dianggap lucu, menggelikan, bahkan dianggap ndesa atau kampungan. Bagi
saya anggapan bahwa dialek Banyumas itu medok dan anggapan lain yang
merendahkan adalah salah satu bentuk kesombongan budaya. Rupanya tujuan untuk
membedakan kelas sosial masyarakat dengan vokal o di akhir kata sukses bahkan
hingga generasi terkini. Dialek Banyumas dengan vokal a di akhir kata dianggap
lebih rendah. Bahasa salah satu unsur budaya, merendahkan salah satu budaya
artinya merendahkan juga budaya Banyumas. Diakui Banyumas memiliki ciri khas
budaya sendiri yang berbeda dengan budaya keraton atau alusan/halus.
2.
Pengajaran Dialek banyumas
Pada saat ini ditenggarai
adanyakeengganan dari para orang tua untuk mengajarkan dialek Banyumas kepada
anak-anak mereka sehingga timbul kekhawatiran akan punahnya varian bahasa itu
bersama-sama dengan budaya yang diwahanainya dalam beberapa dekade mendatang.
Para orang tua, terutama yang ada diperkotaan lebih senang langsung mengajarkan
bahasa indonesia, bahasa yang digunakan sebagai medium intruksional
disekolah-sekolah. Banyak diantara mereka berpandangan bahwa pengajara dialek
Banyumas justru akan mengganggu usaha anak dalam menguasai bahasa indonesia.
Sebagai akibatnya generasi muda tidak lagi mahir menggunakan bahasa ibunya,
atau karena prestise beralih ke bahasa Jawa standar, dialek Solo-Yogya.
Pandangan yang keliru ini harus segera dihilangkan dengan menyadarkan orang tua
bahwa pembelajaran dua bahasa atau lebih akan menimbulkan gangguan. Justru
sebaliknya, orang-orang bilingual memiliki berbagai keuntungan. Orang-orang
bilingual yang sudah terbiasa melihat sesuatu dengan sudut pandang yang
berbeda, atau bahkan bertentangan , akan lebih toleran terhadap
perbedaan-perbedaan bila dibandingkan dengan rekan-rekanya yang monolingual.
Sikap ini sangat diperlukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang
didasarkan atas bermacam-macam perbedaan seperti indonesia dan dalam bergaul
dengan bangsa-bangsa lain dalam era globalisasi.
3.
Anggapan
Mungkinkah
karena karakteristik yang berbeda tersebut menjadikan bahasa Banyumasan
terkesan sebagai bahasa kelas 2 yang memang sering diidentikan dengan bahasa
kelas bawah, bahkan bahasa kelas babu, karena aksen yang muncul terkesan urakan
dan kasar. Hal ini kedepan mungkin agaknya mampu menjadikan tergusurnya suatu
khasanah kebudayaan bahasa tersebut karena memunculkan sikap inferioritas dari penutur serta sikap
lebih baik dari kbeudyaan bahasa yang lain.
4.
Sejarah
yang menjawab
Benarkah bahasa ngapak itu adalah bahasa kelas dua atau
bahkan bahasa babu yang sulit untuk dimengerti. Anggapan disini patutnya harus
dihindari da dihilangkan dalam amsyarakat tutur. Patutnya kita melihat sejarah
bagaimana bahasa dialek masing-masing muncul.
Seperti
yang disampaikan pakar bahasa bahwa Logat Banyumasan ditengarai sebagai logat
bahasa jawa yang tertua. Hal ini ditandai dengan beberapa kata dalam Bahasa
Kawi/Sanksekerta yang merupakan nenek moyang dari bahasa jawa yang masih
dipakai dalam logat Banyumasan seperti kata rika (jw = kowé, ind = kamu), juga
kata inyong yang berasal dari ingong serta
pengucapan vokal a yang utuh tidak seperti å (baca a tipis / miring) yang
menjadi pengucapan dialek Banyumasan seperti halnya bahasa Sanksekerta. Sebelum
terkena pengaruh dari keraton/kerajaan, bahasa jawa hampir tidak ada perbedaan
antara krama inggil dan ngoko. Setelah masa kerajaan-kerajaan Jawa, maka bahasa
Jawa mengalami penghalusan, yaitu bahasa yang dipakai oleh rakyat biasa dan
yang dipakai oleh keluarga kerajaan dibedakan pengucapannya walaupun maknanya
sama.
Dari
penryataan diatas dapat disebutkan bahwa masyarakat banyumasan adalah
masyarakat yang memiliki khasanah bahasa jawa awal, dank ke-awalan ini harus
tertap dijaga agar tidak punah atau tinggal menjadi catatan saja.
Sedangkan
bahasa wetanan yang sering disebut Bandhekan
Menurut M. Koderi (salah seorang pakar budaya & bahasa Banyumasan),
kata bandhek secara morfologis berasal dari kata gandhek yang
berarti pesuruh (orang suruhan/yang diperintah), maksudnya orang suruhan
Raja yang diutus ke wilayah Banyumasan, karena memang wilayah banyumas jauh
dari kerajaan maka muncul sebutan orang banyumasan ‘ adoh ratu cedhak watu “. Sebutan yang muncul dari kalangan
banyumas berupa bhandekan juga tidak lepas dari bagaimana awal mula bahasa ini
muncul.
Sebuah sikap dalam masyarakat berbahasa perlu dikembangkan,
sebuah sikap yang dilahirkan untuk menjadikan kedewasaan dalam masyarakat
berbahasa. Sebuah sikap awal yang perlu dikembangkan adalah semangat untuk
tidak menghidupkannya anggapan adanya bahasa kelas dua, entah dengan melakukan
pendeskridtitan atau ejeken. Sikap tidakmendeskriditkan suatu bahasa dalam
kesan jelek dan lainnya merupakan salah satu upaya mempertahankan sebuah
kebudayaan bahasa, karena jika sikap ini masih saja ada, maka memungkinkan
untuk hilangnya suatu khasanah kebahasaan, mengutip puisi “manusia akan tetap bertahan bila dikekang, tida diberi pekerjaan,
tidak diberi kebebasan berbicara, atau diambil harta bendanya, tetapi akan
tidak berdaya jika tidak diberi kesempatan menggunakan bahasa warisan nenek
moyangnya”.
Sikap lainnya adalah tidak inferiornya anak-anak cablaka ( sebutan orang banyumas ) untuk tetap
menggunakan dialeknya untuk senantiasa melestarikan kekayaan dialek jawa yang
ada. Dengan demikian masrakat berbahasa akan lebih kaya dalam berbahasa, dengan
saling menghargai perbedaan maka memungkinakan timbulnya masyrakat multilingual yang mengerti bahasa
masing-masing. Sehingga menimbulkan keuntungan intelektual pula serta hidup
dengan masyarakat multilingual akan lebih menguntungkan.
Dengan
perbedaan ini bukan mejadikan adanya konflik namun seetidaknya dengan berawal
dari itikad yang baik untuk tetap melestarikan suatu budaya, proses
keberlangsungan suatu kebudayaan juga akan mendapatkan jalan yang lebih mudah.
Keragaman bukanlah alasan untuk saling merandahkan, justru dengan keragaman
itulah kita akan memperoleh kebanggaan bersama.
5.
Pemertahanan
Bahasa
Pemeliharaan sebuah bahasa tidak
cukup hanya dengan sebuah usaha mendeskripsikan sistem kebahasaan dan wilayah
pemakaiannya, seperti yang telah dilakukan oleh para ahli bahasa selama ini.
Namun yang tidak kalah penting dari itu semua adalah penumbuhan rasa bangga
dalam diri penutur penutur dialek Banyumas untuk menggunakan bahasanya. Dengan
dua usaha diatas, niscaya dialek Banyumas akan tetap bertahan dan memberikan
sumbangan kepada bahasa Jawa standar dalam mengembangkan budaya jawa yang
adiluhung. Bahasa Jawa standar hendaknya di satu pihak dikembangkan tidak melampaui
status bahasa indonesia dan di pihak lain tidak melenyapkan dialek-dialek
pendukungnya.
Simpulan
Dalam situasi persatuan dan dalam
kebinekaan, kebijakan bahasa nasional menggariskan bahwa bahasa indonesia
sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi. Sebagai bahsa nasional bahasa
indonesia adalah lambang semangat kebangsaan, alat penyatuan berbagai
masyarakat yang berbeda-beda latar belakang kebahasaan, kebudayaan,dan
kesukuannya ke dalam satu masyarakat nasional indonesia, alat perhubungan antar
suku, antardaerah, dan serta antarbudaya.
Bahasa daerah merupakan alat
perhubungan intraetnis yang merupakan lambang semangat kedaerahan. Sementara
itu, dialek-dialeknya merupakan alat perhubungan subetnis yang harus dipelihara
keberadaanya sebagai pendukung pemerkaya bahasa jawa standar.
Daftar
Pustaka
Rohmadi, Muhammad. 2010. Sosiolinguistik Kajian Teori dan Analisis.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Sumarsono. 2010. Sosiolinguistik.
Yogyakarta: Pustaka pelajar